Senin, 15 Juni 2009

INFEKSI HELMINTHIOSIS

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK

PPDH GELOMBANG III

INFEKSI HELMINTHIOSIS PADA ANJING LOKAL

(NOMOR PROTOKOL 89/N/07)

Oleh :

I NYOMAN SUGIHARTA PUTRA, S.KH

NIM. 0209005045

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2007

RIWAYAT KASUS

Pada tanggal 1 Maret 2007, telah dilakukan pemeriksaan pada anjing dengan Nomor Protokol 89/N/07 milik I Dewa Gede Eka Juniwiasa yang beralamatkan di Jalan Tukad Petanu, Panjer.

Dari anamnesa dan pemeriksaan diketahui bahwa pada anjing tersebut terdapat gejala klinis anoreksia, leleran pada mata, diare berdarah dan berwarna hitam, muntah-muntah, lesu dan membran mukosa mulut pucat. Anjing tersebut belum pernah mendapatkan vaksin dan penanganan dokter hewan sebelumnya. Air minum berasal dari air PDAM sedangkan pakan berupa daging dan nasi. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pengambilan darah, anjing kemudian dieuthanasia dengan MgSO4 secara intrakardial dan selanjutnya dinekropsi.

Tujuan Laporan

Tujuan laporan ini adalah untuk menentukan diagnosa dari kasus penyakit pada anjing dengan nomor protokol 89/N/07 berdasarkan hasil pemeriksaan 5 laboratorium.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Askariasis

Infeksi oleh cacing gelang (ascaris) pada semua spesies dewasa kurang memiliki arti ekonomik, kecuali bila infeksinya cukup berat. Pada hewan muda menyebabkan kerugian yang besar karena pertumbuhannya terhambat, konversi pakan yang terlalu tinggi dan dalam keadaan lanjut dapat menyebabkan kematian karena kelemahan.

Gejala akut penyakit terjadi oleh migrasi cacing yang belum dewasa melalui hati dan paru-paru, atau oleh migrasinya ke dalam kantung empedu atau mungkin oleh perforasi dinding usus atau malah penyumbatan saluran usus oleh cacing dewasa (Subronto dan Tjahajati, 2004).

Cacing T. canis merupakan cacing gelang yang paling banyak menyebabkan kerugian pada anjing. Cacing ini berpredileksi di usus halus anjing dan merupakan cacing gilig terbesar. Dari seekor cacing betina dewasa dapat dibebaskan lebih kurang 200.000 telur per hari. Cacing T. canis jantan berukuran panjang sampai 10 cm, sedang yang betina sampai 18 cm (Subronto, 2006). Telur Cacing ini berdinding tebal, berwarna kuning kecoklatan, serta pada bagian luarnya dilapisi oleh lapisan albumin yang tidak rata sehingga membentuk tonjolan yang bergerigi (ciri khas dari genus Ascaris).

Penularan T. canis dapat terjadi melalui beberapa cara :

- Infeksi langsung

Telur infektif yang mengandung larva stadium 2 dapat menginfeksi anak anjing umur 4 minggu secara langsung dan di dalam usus anak hewan tersebut segera menetas, kelurlah larva stadium ke -2 yang selanjutnya bermigrasi ke dalam hati dalam waktu 2 hari. Setelah bertumbuh sebagai larva stadium ke-3 (infektif) larva tersebut akan bermigrasi ke paru-paru. Seluruh perjalanan migrasi tersebut memerlukan waktu 3 – 6 hari pasca infeksi. Di paru-paru larva menuju ke alveoli, bronchiolidan bronchi, selanjutnya ke batang tenggorok (trachea). Sesampai di dalam pangkal tenggorok, larva akan pindah ke pangkal tekak (pharing), yamg selanjutnya menuju ke ke kerongkongan, lambung dan akhirnya sampai di usus. Sesampai di usus larva berubah menjadi cacing dewasa.

- Infeksi intra uterus

Apabila anjing betina berumur lebih dari 1-3 minggu menelan telur cacing infektif, larva stadium ke-2 akan berdiam di dalam jaringan somatik dan tetap bersifat infektif sampai 1 tahun lamanya. Saat anak anjing tersebut bunting, larva yang infektif akan termobilisasi 2 minggu sebelum hewan tersebut melahirkan. Larva infektif akan menembus plasenta dan selanjutnya mencapai janin. Pada saat dilahirkan anak anjing telah terinfeksi oleh larva stadium ke-3 di dalam paru-parunya. Dalam waktu 1 minggu larva berkembang menjadi stadium ke 4. Dalam waktu 2-3 minggu larva stadium ke-4 berkembang menjadi stadium ke-5 atau cacing muda dan bermukim di usus halus.

- Infeksi Trans-mammaria

Hewan terinfeksi atau anak anjing terinfeksi bila induknya menderita askariasis.

- Infeksi melalui hospes paratenik

Infeksi cacing melalui cara ini terjadi bila anjing dan kucing memakan karkas binatang (rodentia) misalnya tikus yang mengandung larva dorman di dalam jaringan tubuhnya. Binatang lain misalnya cacing tanah dan kecoa (Subronto, 2006)

Siklus hidup Toxocara canis (Johnstone, 1998)

Perilaku untuk migrasi dari larva T. canis tidak hanya bergantung pada host spesiesnya tetapi juga terhadap umur dan keadaan fisiologis dari host. Larva yang menetas dari telur tidak menjadi dewasa pada anjing berumur lebih dari 1 bulan, akan tetapi membentuk kista dalam jaringan somatik sebagai larva stadium ke-2. Jaringan somatik tersebut antara lain otot, hati, ginjal dan organ lainnya (Anonimous, 2005). Pada anak anjing yang muda (dibawah umur 1 bulan) larva cacing T. canis dapat mencapai usus, kiranya dengan migrasi trakheal dan kemudian menjadi dewasa (Georgi, 1974). Pada anjing betina kista tersebut dapat melanjut berkembang dalam infeksi intra-uterus, sedang pada hewan jantan larva dalam kista tersebut tidak berkembang dan akhirnya mati.

Lesi-lesi pada usus akibat adanya migrasi pada stadium larva dan terjadi enteritis haemorhagika, berlanjut menjadi anemi. Pada hati larva stadium 2 dapat menyebabkan pendarahan pada hati yang terjadi di sekeliling vena intra lobuler dari hati dan berlanjut menimbulkan cirosis hepatis dan kadang-kadang dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu. Migrasi larva cacing juga dapat menyebabkan perforasi usus halus sehingga cacing dapat merusak peritoneum yang mengakibatkan kematian pada penderita.

Gejala batuk dapat diamati pada beberapa hewan selama proses migrasi larva melalui sistem respirasi. Pada anjing muda, migrasi dari T. canis di paru dapat menyebabkan pneumonia. Bila hanya terdapat sedikit cacing, paru-paru anak anjing tersebut hanya menderita petechie, tetapi pada infeksi yang berat terdapat pneumonia yang jelas dan peradangan yang bahkan dapat menyebabkan kematian (Levine, 1990)

Cacing dewasa di dalam usus bersaing dengan dengan induk semangnya untuk memperoleh makanan dan dapat menyebabkan kekurusan, pembesaran perut yang jelas, gangguan alat pencernaan, diare yang berganti-ganti dengan konstipasi dan muntah. Perjalanan larva infektif T. canis lewat lambung, pada yang berat menyebabkan distensi lambung, diikuti oleh muntah dan mungkin disertai keluarnya cacing yang belum dewasa di dalam bahan yang dimuntahkan (vomitus).

Gejala klinis

Penderita cacingan memperlihatkan gejala kelemahan umum, hal tersebut juga terutama disebabkan oleh anemia yang diderita. Ekspresi muka tampak sayu, mata berair dan mukosa mata maupun mulutnya tampat pucat. Perut tampak menggantung pada hewan muda. Oleh kelemahan yang diderita, hewan malas berjalan-jalan maupun bergerak. Migrasi larva juga menyebabkan batuk, dispnoea dan adanya radang paru ringan. Gejala anoreksia juga sangat mencolok. Rasa nausea terlihat bila lambung juga mengalami iritasi oleh cacing, yang kadang keluar bersamaan dengan saat batuk atau muntah.

Diagnosis

Askariasis dapat diagnosa dari gejala klinis yang terlihat akibat infeksi oleh cacing muda dan dewasa. Diagnosis cacing kadang-kadang tidak selalu didasarkan pada ditemukan telur atau larva cacing di dalam pemeriksaan tinja, baik secara visual, natif, metode apung atau larva cacing di dalam pemeriksaan endapan. Diagnosis pascamati juga sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Cacing T. canis yang belum dewasa dapat ditemukan di dalam mukosa usus. Pendarahan sub mukosa sebagai akibat trauma oleh larva dapat ditemukan di dalam paru-paru (Subronto, 2006) .

Terapi

- Piperazine

- Levamisole

- Pyrantel Pamoat

B. Ancylostoma caninum

Cacing A. caninum berukuran 10-12 mm untuk yang jantan dan 15-18 mm untuk yang betina. Cacing dewasa biasanya ditemukan melekat pada mukosa usus halus anjing. Telurnya termasuk tipe strongyloid, yaitu berdinding tipis, oval dan bila dibebaskan (dikeluarkan) dari tubuh biasanya memiliki 2-8 gelembung dalam stadium blastomer.

Penularan A. caninum dapat terjadi melalui beberapa cara :

- Infeksi melalui kulit

Larva stadium ketiga (infektif) langsung menembus kulit yang segera diikuti proses migrasi larva ke dalam pembuluh darah atau limfe, langsung ke jantung, paru-paru dan selanjutnya menuju ke pangkal tekak, kerongkongan dan lambung. Larva selanjutnya akan berubah (moulting) menjadi cacing dewasa muda di dalam usus halus

- Infeksi secara oral

Larva stadium ketiga yang infektif memasuki tubuh melalui mulut bersama makanan atau cairan yang dikonsumsi. Larva tersebut bermigrasi ke dalam lapisan atas dari mukosa usus halus dalam beberapa hari setelah tertelan, kemudian kembali lumen usus halus. Di dalam lumen berkembang menjadi dewasa setelah mengalami dua kali moulting (berubah). Pada anak najing yang renta periode prepaten minimum adalah 14-17 hari, sama dengan infeksi perkutan, setelah larva terkonsumsi. Sebagian kecil larva yang menembus larva mukosa usus mungkin menmbus dinding usus dan memasuki pembuluh darah dan mencapai dewasa setelah melewari paru-paru, kerongkongan, lambung dan akhirnya usus.

- Infeksi trans-mammaria dan intra uterus

Dalam migrasinya larva dapat mencapai uterus, menembus selaput janin, hingga anak anjing yang baru dilahirkan pun telah mengandung larva di dalam tubuhnya. Larva tersebut dapat juga mencapai kelenjar susu dan dapat terlarut di dalam air susu, hingga anak anjing yang masih menyusui pun dapat terinfeksi melalui air susu yang diminum.

- Infeksi melalui hospes paratenik

Larva yang berada di dalam tubuh hewan yang bertindak sebagai hospes paratenik, misalnya mencit, dapat menginfeksi anjing bila hospes paratenik dikonsumsi olehnya.

Patogenesis

Cacing kait merupakan salah satu dari penyebab penyakit paling penting kematian dari anak anjing. Pengaruh cacing tesebut terutama kehilangan darah. Anak anjing muda sangat rentan terhadap cacing tambang, karena pada umur 2 – 4 minggu persediaan Fe akan merosot yang disebabkan makanan utama anak anjing adalah air susu yang memang sangat kecil kandungan Fe-nya. Anak anjing yang terinfeksi berat segera mengalami anemia akut. Anemia yang terjadi adalah anemia normositik normokromik akut yang akan melanjut menjadi anemia mikrositik hipokromik (Anon, 2006)

Tiap ekor caing dewasa A. caninum dapat menyebabkan kehilangan darah 0,05-0,2 ml/hari, A. braziliense 0,001 ml dan U. stenocephala 0,0003 ml. Akibatnya persentase darah yang dikeluarkan bersama tinja sangat tinggi. Bila terdapat sejumlah besar cacing kait, maka tinja kelihatan kehitam-hitaman karena darah mengering dan airnya yang tercampur dengan tinja tersebut berubah menjadi berwarna merah (Levine, 1990). Infeksi anjing oleh A. Braziliense dan U. stenocephala tidak mengakibatkan pendarahan hebat seperti pada infeksi oleh A. caninum. Infeksi kedua spesies tersebut lebih banyak ditandai oleh hipoproteinemia, radang usus dan atropi parsial villi interstinales. Hilangnya villi usus halus juga dialami oleh anjing yang terinfeksi A. caninum dan mengakibatkan gangguan absorbsi sari makanan. Darah menunjukkan kemampuan koagulasi yang rendah dan perhitungan sel darah merah turun hingga 1,5 juta per mm (Dunn, 1978). Bekas luka karena kaitan cacing pada membran mukosa usus sering diikuti dengan terjadinya sekunder oleh bakteri, sehingga menimbulkan enteritis yang ditandai dengan diare berdarah dan berlendir.

Gejala klinis

Darah yang mencucur segera tercampur tinja dan menyebabkan melena. Tinja bersifat lunak, berwarna gelap. Gejala anemia dapat dilihat dari pucatnya selaput lendir mata, vagina, mulut maupun dari kulit terutama di daerah perut. Bila penyakit berlangsung kronis maka induk semang mengalami dehidrasi, lemah, kurus, dan konjungtiva pucat karena anemia.

Diagnosis

- Melalui pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing

- Dengan melihat gejala klinis

Terapi

- Pyrantel pamoat

- Mebendazole

- Albendazole

- Ivermectine

MATERI DAN METODE

A. LABORATORIUM PARASITOLOGI

Materi : Feses, Ulas Darah Tipis, Cacing

Metode :

1. Pemeriksaan Ulas Darah

Darah diteteskan pada salah satu gelas obyek dekat dengan jari tengah, kemudian dengan obyek gelas lain yang dipegang dengan ibu jari atau telunjuk tangan kanan ujungnya ditempelkan pada tetesan darah tadi dan biarkan agar darah membasahi seluruh permukaan gelas obyek. Dengan sudut kemiringan 45˚C, gelas obyek kedua didorong secara pelan tetapi menerus, sehingga didapat ulas darah tipis. Ulas darah kemudian dibuat kering dengan cara diangin-anginkan, kemudian difiksasi dengan cara merendam didalam methanol selama 2-3 menit. Hapusan darah dikeringkan lagi seperti diatas, kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan menggunakan zat warna Giemsa 10 % dengan cara ditetesi dan dibiarkan selama 25 menit. Cuci hapusan darah tersebut dengan air yang mengalir lambat dan kemudian dikeringkan sama seperti diatas. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop menggunakan pembesaran kuat obyektif 100 X (sehingga diperlukan minyak emersi).

2. Pemeriksaan tinja dengan Metode Kualitatif Langsung (Natif)

Tinja diambil sebesar pentolan korek api ditaruh diatas obyek gelas. Teteskan 1-2 tetes air, aduk sampai homogen serta diratakan menggunakan lidi dan bagian yang kasar dibuang. Tutup dengan gelas penutup dan diusahakan tidak ada udara kemudian diperiksa dengan mikroskop pembesaran obyektif 10-40 X.

3. Pemeriksaan cacing dengan pembuatan Preparat Permanen Cacing

Cacing diletakkan diatas gelas obyek, kemudian diamati dibawah mikroskop sterio sambil memperbaiki posisinya agar bagian yang menjadi ciri khasnya terlihat, jepi dengan gelas obyek lain dan diikat dengan gelang karet. Rendam dalam akohol 70 % selama 24 jam. Warnai dengan meneteskan zat warna Eosin sambil diamati dibawah mikroskop sterio sampai organ cacing yang penting terwarnai. Dehidrasi secara bertingkat dengan merendam secara berurutan ke dalam larutan alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 95 % masing-masing selama 30 menit kemudian keringkan. Tetesi dengan minyak kayu putih dan biarkan selama 30 menit. Tetesi dengan Canada balsam dan akhirnya tutup dengan gelas penutup. Setelah kering, diamati dengan mikroskop sterio untuk melihat ciri-ciri morfologinya.

B. LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK

Materi : Darah + EDTA

Metode :

1. Pemeriksaan Ulas Darah

Darah diteteskan pada salah satu ujung dari obyek glass yang bersih, kemudian dengan obyek glass yang lain diletakkan dekat dengan tetesan darah membentuk sudut 450. Gelas penghapus digeser kearah tetesan darah sehingga darah tersebar ke seluruh permukaan gelas penghapus. Dengan cepat gelas penghapus digeser berlawanan dengan arah tadi, dengan demikian darah akan merata diatas gelas obyek sebagai lapisan yang tipis. Hapus darah dikeringkan dengan menggoyang-goyangkan di udara, jika sudah kering difiksasi dengan methanol dan dilanjutkan dengan pewarnaan giemza. Setelah itu dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x menggunakan minyak imersi untuk menghitung diferensial leukosit.

2. Penghitungan Leukosit

Darah dengan antikoagulan dihisap dengan pipet leukosit sampai tanda 0,5, kemudian disusul dengan menghisap larutan pengencer (turk) sampai tanda 11. Homogenkan dan buang beberapa tetes lalu masukkan ke dalam kamar hitung untuk dilakukan penghitungan leukosit di bawah mikroskop.

3. Penghitungan Eritrosit

Darah dengan antikoagulan dihisap dengan pipet eritrosit sampai tanda 0,5 kemudian larutan pengencer hayem dihisap sampai tanda 101. Homogenkan selama dua menit kemudian buang beberapa tetes lalu masukkan ke dalam kamar hitung untuk dilakukan penghitungan di bawah mikroskop.

4. Penentuan Kadar Hemoglobin

Tabung hemometer diisi dengan larutan HCL 0,1 N sampai tanda 2 gram %. Darah dengan antikoagulan dihisap dengan pipet sahli sampai tepat pada tanda 20 ammo. Bagian luar dari pipet dibersihkan dengan kertas tisu dengan catatan tidak sampai menghisap darah dalam pipet. Darah dimasukkan kedalam tabung hemometer yang berisi larutam HCL 0,1 N tanpa menimbulkan gelembung udara. Pipet dibilas dengan menghisap dan meniup HCL yang ada dalam tabung beberapa kali. Tunggu 10 menit untuk pembentukan asam hematin. Asam hematin diencerkan dengan akuades tetes demi tetes sambil diaduk sampai warnanya sama dengan warna coklat pada gelas standart.

5. Penentuan Nilai Hematokrit/PCV

Darah dengan antikoagulan dimasukkan kedalam pipet mikrohematokrit sekitar 6/7 bagian pipet. Tutup ujung masuknya darah dengan malam. Letakkan pipet mikrohematokrit pada pemusing mikrohematokrit dan pusingkan dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit. Nilai hematokrit yang diperoleh dibaca dengan alat baca khusus (mikrohematokrit reader).

C. LABORATORIUM MIKROBIOLOGI

Materi : Hati dan kerokan usus (feses)

Metode :

1. Isolasi dan identifikasi bakteri

Spesimen ditanam pada media Blood Agar dan MacConkey Agar. Spesimen diambil dengan osse steril dan diusapkan pada permukaan media, kemudian diinkubasikan pada suhu 370C selama 24 jam. Bakteri yang tumbuh diidentifikasi meliputi bentuk, warna, tepian, elevasi dan diameter koloni.

2. Pengecatan Gram

Koloni yang sudah diidentifikasi diambil dengan ose steril dan diusapkan pada obyek gelas yang sudah ditetesi dengan aquades, kemudian dihomogenkan dan difiksasi. Setelah kering tetesi dengan crystal violet diamkan selama 2 menit. Bilas dengan air mengalir selanjutnya tetesi dengan iodine diamkan selama 2 menit, bilas sampai bersih secara berlahan lahan. Lunturkan olesan tersebut dengan alkohol 95% sampai warna crystal violet terlihat mengalir. Tetesi olesan tadi dengan safranin selama 30 detik, bilas sampai bersih dan tiriskan. Amati dibawah mikroskop dengan pembesaran lemah sampai kuat.

3. Uji Katalase dan uji Oksidase

Uji katalase dilakukan dengan cara mengambil koloni pada media, letakkan pada obyek gelas, tambahkan H2O2 3% kemudian amati atau tidaknya pembentukan gelembung gas. Uji oksidase dilakukan dengan mencelupkan stick oksidase pada aquadest kemudian dioleskan pada koloni lalu amati perubahan warna yang terjadi.

4. Uji Biokimia

Uji biokimia dilakukan pada media TSIA, SIM, simon citrate dan MRVP. Koloni kuman diambil menggunakan needle steril kemudian ditanam pada masing-masing media. Inkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Setelah diinkubasi untuk media MRVP dibagi kedalam dua tabung steril. Tabung pertama ditetesi reagen MR, tabung kedua ditetesi dengan reagen VP.

5. Uji gula-gula

Uji gula-gula dilakukan dengan penanaman pada media yang mengandung manitol, maltosa, glukosa, laktosa kemudian diinkubasikan pada suhu 370C selama 24 jam. Amati perubahan warna dan pembentukan gas pada Durham cup.

D. LABORATORIUM PATOLOGI

Materi : Usus, Hati, Paru-paru, Limpa dan Otak

Metode :

Organ dipotong kecil kemudian direndam dalam cairan Netral Buffer Formalin (NBF) 10%. Selanjutnya dilakukan dehidrasi bertingkat dengan cara merendam potongan organ secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, alkohol absolut selama beberapa jam. Kemudian dilakukain clearning atau penjernihan dengan merendam potongan organ dalam Xylol atau Toluena atau Benzena, lalu infiltrasi dengan parafin cair. Selanjutnya dilakukan embedding dan blocking dimana potongan organ ditanam pada blok yang telah disiapkan kemudian disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Setelah itu dilakukan sectioning atau pemotogan dengan alat mikrotome setebal ±5 mikron dan selanjutnya dengan pewarnaan dan mounting dengan metode Harris Hematoxylin-Eosin kemudian dilakukan pengamatan dengan mikroskop.

E. PEMERIKSAAN VIROLOGI

Materi : Usus, Feses dan Limfoglandula

Metode :

1. Isolasi DNA Fenol Chloroform

Organ digerus sampai halus dan ditambahkan dengan PBS 1000μL. Sentrifuge 1200 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil sebanyak 500μL. 500μL ditambah dengan 5μL SDS 10% dan juga ditambah 25 μL Proteinase K 2 mg/mL. Sentrifuge campuran tersebut beberapa saat kemudian inkubasikan dalam suhu 37˚C selama 2 jam. Tambahkan 250 μL Fenol kemudian kocok selama 15 detik (hati-hati ambil bagian bawah lapisan air). Tambahkan 250 μL Chloroform kemudian kocok selama 30 detik. Sentrifuge dengan kecepatan 15.000 rpm selama 2 menit. Ambil bagian atas (aquaeus) kemudian masukkan dalam tabung effendorf. Ulangi proses. Tambahkan 500 μL Cloroform kemudian kocok selama 30 detik. Sentrifuge 15.000 rpm selama 2 menit. Ambil bagian aquaeus dengan hati-hati menggunakan pipet 100μL. Masukkan dalam effendorf baru (1500 μL). Tambahkan Na-asetat pH 5,2 sebanyak 10 % volume cairan tadi. Tambahkan etanol absolut beku sebanyak 2-3 kali volume total . bolak-balik beberapa kali kemudian simpan dalam suhu (-20˚C) selama 20 menit. Alkohol dibuang dengan cara menuangkan langsung, kemudian hisap dengan kertas tissue. Tambahkan 500-1000 μL alkohol 70%. Bolak-balik secara hati-hati. Sentrifuge max speed (1500 rpm) selama 15 menit. Tuang alkohol dan hisap dengan kertas tissue alakohol pada bagian luarnya saja. Dengan tabung terbuka, tutup dengan tissue kering dan letakkan dalam oven 50-56˚C sampai alkohol habis. Tambahkan alkohol yang ada dengan treated water sebanyak 20 μL. Aduk berkali-kali dengan cara ambil hisap. Letakkan dalam suhu 4˚ C selama 1 malam. Simpan dalam freezer sampai akan diproses selanjutnya.

2. Uji PCR

Hasil isolasi DNA Fenol Chloroform kemudian diproses, langkah selanjutnya adalah pencampuran DNA, primer matrik, enzim, R-mix dan aquades. Campuran dalam tabung ini kemudian dimasukkan kedalam Thermocycle Ependorf Mastercycle Personal. Hasilnya kemudian ditambahkan blue juice dan dimasukkan ke polyacrilamide gel dalam mesin electrophoresis. Visualisasi DNA dilakukan dengan ultra violet reader.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan pada masing –masing laboratorium pada kasus Helminthiosis pada anjing lokal dengan nomor protokol 89/N/07 adalah sebagai berikut :

1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi

Hasil pemeriksaan patologi anatomi disajikan pada tabel berikut

Sistem syaraf

Tidak ada perubahan

Sistem kardiovaskuler

Tidak ada perubahan

Sistem respirasi

Tidak ada perubahan

Sistem gastrointestinal

Pendarahan pada usus halus hingga usus besar, pendarahan petichae pada hati

Sistem integumen

Tidak ada perubahan

Sistem otot dan tendon

Tidak ada perubahan

Sistem tulang dan persendian

Tidak ada perubahan

Sistem urinaria

Tidak ada perubahan

Sistem reproduksi

Tidak ada perubahan

Lain-lain : limpa mengalami nekrosis berfibrin

Dari hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan hewan mengalami infeksi akibat dari Helminthiosis dengan histopatologi sebagai berikut :

Organ

Perubahan Histopatologi

Paru-paru

Ditemukan Pneumonia Interstitialis dengan bagian septa alveoli mengalami penebalan. Banyak ditemukan sel-sel darah, netrofil dan juga sel mononuklear

Ginjal

Banyak ditemukan nekrosis dengan tubular diinfiltrasi oleh sel radang limfosit dan makrofag

Hati

Ditemukan nekrosis pada hati disekitar vena sentralis dan di pinggir segitiga Kiernan

Limpa

Tidak ada perubahan (TAP)

Otak

Tidak ada perubahan (TAP)

Usus

Ditemukan pendarahan pada daerah intervilli mukosa sampai mukosa, terjadi desquamasi epitel usus dan plasma darah banyak ditemukan

2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik

Hematologi

Hasil

Normal

Rata-rata

Keterangan

Neutrofil (%)

5

60-77

70

Menurun

Eosinofil(%)

14

2-10

4

Meningkat

Basofil(%)

-

jarang

0

-

Monosit(%)

40

3-10

5,2

Meningkat

Limfosit(%)

41

12-30

20

Meningkat

Kadar Hemoglobin (g/dl)

5,1

12-18

15

Menurun

Jumlah Eritrosit (x 106 μl)

-

-

-

-

Hematokrit/PCV (%)

14,5

37-55

45

Menurun

Jumlah Leukosit (x 103 μl)

-

-

-

-

3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi

Pemeriksaan feses dengan metode natif ditemukan adanya telur cacing Ancylostoma caninum dan Toxocara canis. Identifikasi cacing dengan pembuatan preparat permanen diidentifikasi merupakan cacing Ancylostoma caninum dan Toxocara canis.

4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi

Penanaman spesimen Hati pada Blood Agar tidak mengalami pertumbuhan, sedangkan penanaman feses diidentifikasi bakteri gram negatif bentuk batang kelompok Escherichia coli.

5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Virologi

No

Pengujian

Hasil

1

PCR-PARVOVIRUS

Negatif

Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium patologi, patologi klinik dan Parasitologi maka anjing dengan nomor protokol 89/N/07 didiagnosa menderita Helminthiosis.

PEMBAHASAN

Anjing lokal dengan nomor protokol 89/N/07 didiagnosa mengalami penyakit Helminthiosis berdasarkan atas gejala klinis dan dengan pemeriksaan laboratorium yang diantaranya adalah pemeriksaan pada laboratorium parasitologi, patologi dan patologi klinik. Pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium virologi dan bakteriologi tidak ditemukan agen penyebab penyakit. Dari gejala klinis muntah-muntah dan pengeluaran tinja dari hewan yang kadang-kadang mengeluarkan feses yang mengandung darah segar, hewan tersebut dicurigai menderita penyakit parvovirus. Hasil pemeriksaan PCR menyatakan pada hewan tersebut tidak ditemukannya agen penyakit parvovirus.

Pada pemeriksaan di laboratorium Mikrobiologi dilakukan pemeriksaan spesimen yang berasal dari kerokan usus dan hati. Pada penanaman spesimen hati di Blood agar tidak ditemukan pertumbuhan bakteri sedangkan untuk spesimen kerokan usus ditemukan bakteri gram negatif E.coli pada penanaman di media Blood agar dan MCA. Bakteri Escherichia coli merupakan gram negatif Enterobactericeae, penghuni normal saluran gastrointestinal pada kebanyakan mamalia. Faktor virulensi yang dimilikinya adalah kemampuan untuk menyebabkan septisemia dan lebih berhubungan dengan status imun dari host. Pada keadaan tertentu misalnya imunosupresi akibat dari adanya penyakit lainnya seperti penyakit gastrointestinal akibat agen patogen lain, Escherichia coli dapat menjadi penyakit yang bersifat sistemik dan menjangkiti organ lain (Barr and Bowman, 2006). Oleh karena hal tersebut maka bakteri Escherichia coli yang ditemukan merupakan flora normal saluran pencernaan.

Gejala klinis yang tampak pada hewan tersebut adalah anoreksia, leleran pada mata, diare berdarah dan berwarna hitam, muntah-muntah, lesu dan membran mukosa mulut pucat. Membran mukosa mulut yang pucat mengindikasikan terjadinya anemia. Anemia yang terjadi pada penyakit akibat ancylostomiasis biasanya adalah anemia mikrositik hipokromik yang terjadi karena kekurangan zat besi (Fe). Menurunnya kadar zat besi karena terjadi pendarahan pada usus yang diakibatkan oleh cacing A. caninum yang menghisap darah dengan anti koagulan sehingga darah terus menerus-menerus mengucur keluar.

Pada pemeriksaan patologi anatomi (PA) ditemukan adanya pendarahan titik-titik pada hati yang kemungkinan sebagai akibat migrasi larva cacing T. canis yang berukuran besar melalui pembuluh darah kapiler yang meninggalkan jejas berupa haemorhagi. Pendarahan radang haemorhagik akibat cacing A. caninum terjadi pada usus halus. Radang kadang juga meluas sampai di bagian usus halus lainnya yaitu kolon dan sekum. Pendarahan mukosa yang terjadi berupa pendarahan titik (Petechie) maupun echimosae (Subronto, 2006).

Pada hasil pemeriksaan ulas darah ditemukan penurunan jumlah neutrofil dalam darah hal ini kemungkinan terjadi karena defiesiensi zat besi yang juga berperan dalam pembentukan sistem imunitas. Menurut Jubb et al (1993), neutropenia merupakan akibat dari defisiensi zat besi dan mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menelan bakteri (fagositosis). Peningkatan jumlah limfosit diduga karena adanya rangsangan dari cacing untuk meningkatkan produksi Imunoglobulin IgE dan IgA. Ukuran cacing terlalu besar untuk di fagositosis, tetapi dapat dilapisi dengan IgE dan IgA. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produk histamin yang menimbulkan spasmus usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG dan IgA dan melepas ion kationik, MBP dan neurotoksin yang diduga juga berperan terhadap manifestasi cacing. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan superoksida, oksida nitrat dan enzim yang membunuh cacing.

Baik degranulasi sel mast maupun sel eosinofil terjadi bila dibentuk kompleks antigen dengan reseptornya. Degranulasi sel mast melepas histamin, serotonin dan leukotrin. Vaso aktif amine merupakan neurotransmitor dan menimbulkan perubahan neurovaskulator dan neuromuskuler dengan akibat diare akibat spasmus saluran cerna dan mengeluarkan isi saluran cerna (Bratawidjaja, 2002). Monositosis kemungkinan meningkat karena terjadi peningkatan jumlah makrofag yang dipelukan untuk mengurangi jumlah cacing yang terdapat pada saluran cerna. Eosinofilia terjadi karena hipersentivitas akibat parasit. Parasit yang dapat menaikkan jumlah eosinofil adalah parasit yang dapat menembus atau masuk jaringan (Dharmawan, 2002).

Perubahan histopatologi yang terlihat disebabkan karena adanya kemampuan untuk migrasi fase larva dari cacing T. canis. Sesuai dengan siklus hidupnya migrasi larva cacing T. canis dilakukan melalui peredaran darah untuk kemudian masuk ke dalam organ-organ visceral. Migrasi terjadi secara pasif melalui saluran limfe dan darah atau secara aktif melalui penetrasi ke dalam jaringan dan menginvasi semua bagian dari tubuh (Overgaauw, 1997).

Pada pemeriksaan Histopatologi pada paru dapat dilihat terjadi penebalan pada septa alveoli dan banyak ditemukan sel-sel darah, netrofil dan juga sel mononuklear. Pneumonia interstitialis merupakan peradangan pada daerah septa alveolar dan di dalam jaringan ikat peribronchial dari paru, yang disertai dengan respon eksudatif dan proliferatif dari dinding alveolus. Dari gambaran histopatologi diduga infeksi akibat larva migran dari cacing bersifat kronis. Penebalan septa alveoli diduga terjadi karena adanya proliferasi jaringan ikat. Eritrosit yang tampak terjadi sel darah ini keluar melalui proses diapedesis (tanpa terjadi proses pendarahan). Radang kronik disebabkan oleh rangsang yang menetap, seringkali selama beberapa minggu atau bulan, menyebabkan infiltrasi mononuklear dan proliferasi fibroblast (Robbin et al., 1992).

Perubahan histopatologi pada usus adalah terjadi pendarahan pada daerah intervili sampai mukosa, desquamasi epitel usus dan juga banyak ditemukan plasma darah. Menurut Ressang (1984), pada tingkat permulaan infeksi Ancylostoma pada usus terlihat haemorrhagi ekstra vaskuler dalam mukosa. Pendarahan ini disusul oleh nekrosis dan pendarahan-pendarahan di bagian bawah dari propia mukosa. Desquamasi terjadi karena cacing A. caninum menyebabkan villi usus hilang (Subronto, 2006).

Perubahan histopatologi yang terjadi pada ginjal adalah banyak ditemukan nekrosis dengan tubular diinfiltrasi oleh sel radang limfosit dan makrofag. Diduga larva cacing ikut dalam aliran darah dan menuju ke ginjal. Menurut Bloom (1954), pada ginjal, nodul ascaris muncul sebagai gambaran granulomatous dan pada tahap awal tersusun dari larva yang terletak ditengah dari masa sel epiteloid, limfosit dan terkadang sel giant. Pada stadium lanjut larva menghilang dan daerah pusat menunjukkan nekrosis kaseosa yang dikelilingi dengan tepi seluler dari jaringan granulasi dan dibatasi oleh limfosit. Adanya limfosit dan makrofag menunjukkan terjadi mekanisme respon imun dari tubuh hewan tersebut untuk menekan aktivitas migrasi dari larva cacing tersebut. Menurut Tizard (1988), limfosit T yang telah disensitasi menekan aktivitas cacing dengan 2 mekanisme. Pertama, terjadinya tanggap peradangan dari tipe hipersentivitas lambat yang cenderung untuk menarik sel mononuklear ke tempat invasi larva dan merubah lingkungan dan merubah lingkungan setempat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan atau migrasi. Kedua, limfosit sitotoksik mungkin mampu menyebabkan kehancuran larva.

Dilihat dari nilai hematrokit, jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin hewan mengalami anemia. Jumlah eritrosit yang menurun tajam terjadi karena jumlah cacing A. caninum berinfeksi pada usus sangat banyak. Kaitan cacing tersebut pada usus disertai dengan pengeluaran zat dari cacing yang bersifat antikoagulan menyebabkan darah keluar secara terus menerus. Pengeluaran darah ini diduga tidak dapat dikompensasi dengan kegiatan hemopoesis sel darah yang baik oleh anjing muda. Kadar haemoglobin yang menurun terjadi karena menurunnya cadangan zat besi (Fe) akibat dari defisiensi nutrisi akibat infeksi cacing T. canis dan pada anak anjing umumnya memiliki cadangan zat besi yang sedikit.

Anak anjing umumnya terinfeksi T. canis melalui infeksi intra-uterus dan juga infeksi intra-mammaria. Pada infeksi yang terjadi melalui intra-uterus, larva infektif akan menembus plasenta dan selanjutnya akan mencapai janin. Pada saat dilahirkan anak anjing tersebut telah terinfeksi oleh larva stadium 3 di dalam paru-parunya. Dalam waktu 2-3 minggu larva stadium ke-4 berkembang menjadi stadium ke-5 atau sebagai cacing muda dan bermukim di usus halus. Infeksi larva yang masuk melalui intra-mammaria akan menjadi larva stadium 3 dan menjadi larva stadium 4 ketika masuk ke lambung kemudian menjadi dewasa di usus. Keadaan ini menyebabkan cacing akan langsung menjadi dewasa di usus.

Infeksi parasit lebih dari 1 spesies bisa bersifat intra spesifik parasitisme dan interspesifik parasitisme. Oleh karena itu, cacing T. canis pada hewan ini diduga kalah berkompetisi dengan cacing A. caninum dalam memperoleh makanan dari inang. Tinja yang bersifat lunak akibat dari pendarahan pada usus mengakibatkan cacing T. canis keluar melalui feses sehingga jumlahnya dalam usus menurun. Telur yang keluar dari anak anjing yang terinfeksi di lingkungan akan berkembang menjadi telur infektif dan dapat menulari anak anjing tersebut lagi. Pendarahan titik-titik (petechiae) yang ditemukan pada hati mungkin disebabkan adanya migrasi larva akibat cacing tersebut. Menurut Levine (1994), pada anak anjing dibawah usia 3 bulan, kebanyakan larva masuk ke dalam pembuluh limfa, melalui kelenjar limfa dan melewati sistem portal hati menuju hati. Disini larva berkembang sedikit tetapi tidak menyilih. Kemudian larva menuju jantung melalui vena hepatik atau vena cava dan menuju paru-paru melaui arteri pulmoner.

Sekitar 60 % volume eritrosit terdiri dari air dan sisanya 40 % terdiri dari konjugasi protein dan hem (heme) (Dharmawan, 2002). Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi (Ganong, 1995). Kekurangan zat besi akan berpengaruh pada pembentukan haemoglobin. Keadaan zat besi yang menurun akan menurunkan pembentukkan haemoglobin.

Pada anak anjing kandungan zat besi dalam tubuhnya sangatlah sedikit dan biasanya berasal dari kolostrum (Subronto, 2006). Selain itu sumber zat besi juga bisa berasal dari makanan yang berupa daging. Adanya cacing T. canis diasumsikan akan menyebabkan terjadinya kompetisi antara inang dan parasit dalam memperoleh nutrisi. Keadaan ini akan menyebabkan makanan yang dimakan tidak akan dapat dimanfaatkan oleh hewan tersebut dan kebutuhan akan zat besi yang banyak berasal dari daging tidak akan dapat terpenuhi secara maksimal. Keadaan ini yang menyebabkan anemia dan menyebabkan kelemahan pada hewan tersebut. Gejala muntah dapat terjadi karena adanya perpindahan migrasi cacing dari saluran napas ke saluran pencernaan. Cacing yang dewasa ini kemudian akan masuk ke lambung dan menyebabkan iritasi di lambung yang akan membuat hewan tersebut mual-mual dan muntah (Subronto, 2006).

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesa, gejala klinik, dan hasil pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan bahwa spesimen hewan dengan nomor protokol 89/N/07 didiagnosis menderita penyakit helminthiosis.

SARAN

Pada anjing yang berusia muda sebaiknya diberikan obat cacing karena penyakit akibat infeksi cacing cenderung menjadi penyakit yang fatal bagi hewan muda.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2005. Toxocariasis. Accessed at http ://www.yahoo.com

Anonimous. 2006. Ancylostomiasis in Dog. Accessed at http ://www.yahoo.com

Barr, S., Bowman. D. D. 2006. Canine and Feline Infectious Disease and Parasitology. Blackwell Publishing. Iowa.

Baratawidjaya, K.G. 2002. Imunologi Dasar Edisi Kelima. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Bloom, F. 1994. Pathology of The Dog and Cat. American Veterinery Publication. Illinois.

Dharmawan, N. S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner (Hematologi Klinik). Palawa sari. Denpasar.

Dunn, A. M. 1978. Veterinery Helminthology. Second Edition. William Heinemann Medical Book LTD. London.

Ganong, W. F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Georgi, J. R. 1974. Parasitogy for Veterinerian. W. B. Saunders Company. Philadelphia-London-Toronto.

Jawetz, M., Adelberg, E. A., Melnick, J. L., Brooks, G. F., Butel, J. S., Ornston, L. N. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi-20. Alih Bahasa : Edi Nugroho dan R. F. Mulyani. EGC. Jakarta.

Joshstone, C. 1998. Toxocara canis Life Cycle. Accessed at http ://www.yahoo.com.

Jubb, K. V. F., Kennedy, P. C., Palmer, N. 1993. Academic Press, INC Harcourt Brace Jovanovich. San Diego-New York-Boston-London-Sydney.

Levine, N. D. 1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Levine, N. D. 1990. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Overgauww, P. A. M. 1997. General Introduction Aspects of ToxocaraEpidemiology,

Toxocarosis in Dogs and Cats. Critical Reviews in Microbiology 1997; 23: 233-51.

Resang, A.A 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Kedua. NV. Peternakan Bali. Denpasar.

Robbin, L. S., Kumar, V. 1992. Buku Ajar Patologi I. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing Dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Subronto., Tjahajati. I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tizzard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.

LAMPIRAN

Perdarahan petechiae pada Hati Cacing Ancylostoma caninum

Telur Ancylostoma caninum

Diare berdarah dan berwarna kehitaman Telur Toxocara canis

Cacing Toxocara canis Perdarahan pada usus

Tidak ada komentar: