Materi Kuliah
VIROLOGI
Oleh
Ida Bagus Kade Suardana
Recognisi
Laboratorium Virologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
Denpasar
2000
Recognition
Antigen adalah suatu substansi yang mampu merangsang terbentuknya respon imun yang dapat dideteksi, baik respon imun seluler, respon imun humoral atau kedua-duanya. Karena sifatnya itu antigen disebut juga sebagai imunogen. Imunogen yang paling poten umumnya merupakan makromolekul protein, polisakarida atau polimer sintetik yang lain seperti polivinilpirolidon (PVP). Imunogenitas dari suatu imunogen bergantung dari antigennya sendiri, cara masuknya, hewan atau manusia yang menerima antigen tersebut dan kepekaan dari metode yang digunakan untuk mendeteksi respon imunnya. Agar antigen dapat dikenali oleh sel limfoid, antigen akan disajikan oleh sel-sel tertentu yang disebut dengan “Antigen Presenting Cells“ (APC) (Abbas dkk, 1991; Roitt dkk., 1993).
Makrofag disaping berfungsi sebagai fagosit profesional juga merupakan APC yang pertama diketahui. Makrofag dijumpai dalam sirkulasi darah maupun dalam jaringan dan bersama-sama dengan sel polimorfonuklear (PMN) melawan zat-zat asing yang patogen. Makrofag mampu menelan antigen yang berbentuk partikel maupun yang larut, kemudian memprosesnya dengan cara degradasi, denaturasi atau modifikasi dan selanjutnya menyajikan fragmen-fragmen antigen tersebut kepada sel T. Selain Makrofag masih ada beberapa sel lain yang dapat berperab sebagai APC (Abbas dkk., 1991; Bellanti, 1985).
Respon imun akan diawali dengan pemrosesan antigen yang disusul dengan presentasi fragmen-fragmen antigen oleh APC. Presentasi ini harus dilakukan bersama-sama dengan MHC kelas II, Limfosit T helper (CD 4+) melalui reseptor TcR akan mengenal antigen yang disajikan bersama dengan MHC kelas II, kemudian memberikan sinyal kepada sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi (Bellanti, 1985; Hendrik, 1989; Subowo, 1993).
Secara garis besar semua sel yang menampilkan MHC kelas II dapat bertindak sebagai APC, misalnya sel-sel dendritik, kupfer, langerhans, endotel, fibroblast dan sel B. Diantara sel-sel diatas sel dendritik, makrofag dan sel B merupakan APC terpenting, bahkan sel dendritik folikuler mampu menyajikan antigen natif dalam bentuk kompleks imun tanpa memprosesnya terlebih dahulu. Diduga sel-sel ini bertindak sebagai tempat menampung antigen natif atau kompleks antigen antibodi. Antigen atau kompleks antigen antibodi melekat pada permukaan sel dendritik folikuler tanpa diproses lebih lanjut. Bagian-bagian sel yang berbentuk tonjolan dilepaskan bersama-sama dengan komplek antigen antobodi dan membentuk butir-butir komplek imun yang disebut dengan icoccomes. Icoccomes ini kemudian ditangkap oleh sel B atau makrofag untuk diproses lebih lanjut. Vitetta et al membuktikan bahwa sel dendritik merupakan APC pertama yang mengaktivasi sel T pada hewan percobaan yang belum pernah tersensitisasi. Sedangkan makrofag dan sel B hanya menyajikan antigen kepada sel Byang teraktivasi atau sel T memori (Abbas dkk, 1991; Roitt dkk, 1993; Kresno, 1991).
Proses Limfosit T mengenali Antigen
Sel-sel imunokompeten agar dapat mengenali antigen maka pada permukaan sel T dan sel B dilengkapi dengan reseptor molekul. Reseptor antigen pada permukaan limfosit T berbentuk heterodimer dengan molekul CD3, sedangkan pada permukaan limfosit B terdapat sebagai molekul imunoglobulin.
Dalam proses pengenalan antigen bakteri atau parasit limfosit B dapat melaksanakan sendiri tanpa bantuan sel yang lain. Sebaliknya limfosit T tidak dapat mengenali secara langsung. Proses pengenalan antigen tersebut memerlukan jenis sel lain yang dinamakan sel pelengkap (Accessory cell) yang berfungsi untuk memproses secara kimia terlebih dahulu agar antigen dapat disajikan kepada limfosit T bersama-sama dengan molekul Major Histocompatibility Complez (MHC) (Hokama, 1982; Grey dkk, 1989; Vitetta dkk, 1989).
Limdosit T hanya dapat menanggapi antigen apabila disajikan oleh sel pelengkap. Sel pelengkap pertama yang diketahui sebagai penyaji antigen (APC) adalah sel makrofag. Sel penyaji akan memproses antigen dahulu sebelum disajikan sebagai molekul yang dikenali oleh limfosit T. Cara memproses dan penyajian antigen“eksogen“ pada umumnya dapat menyebabkan aktivasi limfosit dari sub populasi tertentu sehingga membantu aktivasi limfosit B dalam memproduksi antibodi. Limfosit T yang berperan dalam peristiwa ini adalah limfosit T helper (CD 4) (Roitt dkk, 1993; Subowo, 1993).
Tidak semua antigen yang dikenal oleh limfosit T berasal dari luar sel penyaji. Antigen“endogen“ diperoleh oleh sel penyaji sebagai akibat infeksi virus dalam sel atau dari sel yang telah berubah menjadi ganas. Sel-sel tersebut mengekspresikan antigen khas virus tumor pada permukaannya. Secara teoritis semua sel dalam tubuh inang mempunyai kemampuan sebgai sel penyaji antigen“endogen“ yang khass tersebut, terhadap limfosit T dari sub populasi yang tergolong sel sitotoksik. Sel sitotoksik dapat menanggapi antigen“endogen“ dengan cara membunuh sel-sel yang menyajikannya (Abbas dkk, 1991; Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Sampai saat ini diduga bahwa antigen endogen yang disajikan sebelumnya tidak perlu diproses. Hal ini disebabkan oleh karena protein sebagai antigen endogen tersebut merupakan bentuk ekspresi gen virus atau gen tumor, sehingga limfosit sitotoksik dapat bereaksi langsung terhadap antigen tersebut. Dengan demikian dalam sistem imun terdapat dua jalur terpisah untuk menyampingkan antigen yaitu : Jalur untuk antigen eksogen dan jalur untuk antifen endogen.
Protein bakteri yang diambil oleh limfosit B dari sekitarnya yang kemudian diproses oleh limfosit T helper akan mempunyai dampak diproduksinya antobodi spesifik. Sebaliknya protein abnormal yang dibuat oleh sel inang mendorong aktivasi limfosit T sitotoksik untuk membunuh sel inang. Zinkernagel dan Doherty (1974) mengemukakan bahwa sel limfosit T tidak saja mampu mengenali antigen asing akan tetapi juga molekul MHC yang terdapat pada permukaan sel inang yang dihadapinya. Limfosit T yang telah mengadakan respon imun terhadap antigen yang disajikan oleh sel-sel yang terinfeksi virus bersama-sama molekul MHC kelas I tertentu dengan antigen yang sama tetapi disajikan oleh sel terinfeksi virus dengan molekul MHC kelas I yang berbeda latar belakang genetiknya. Mereka menemukan bahwa apabila molekul protein MHC kelas I pada sel-sel yang terinfeksi virus ini berasal dari individu yang berbeda dengan individu yang pertama maka sel-sel yang terinfeksi virus tersebut tidak akan dibunuh oleh sel-sel T tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, agar limfosit dapat mengadakan respon imun, harus mengenal dua kesatuan antigen yaitu antigen asing dan antigen diri yang spesifik. Persyaratan ini dinamakan dengan “Restriksi MHC“ (Hendrik, 1989; Kresno, 1991; Roitt dkk, 1993).
Ada beberapa hipotesis mengenai cara limfosit T berinteraksi dengan antigen yang terikat pada MHC. Hipotesis pertama menyatakan bahwa interaksi itu dilakukan melalui dua reseptor pada permukaan sel T, dimana satu reseptor berinteraksi dengan antigen sedangkan reseptor yang lainnya berinteraksi dengan MHC. Sedangkan hipotesis kedua mengemukakan bahwa reseptor pada limfosit T berbentuk reseptor tunggal yang secara spesifik mengenal dua antigen asing dan antigen MHC secara bersama-sama. Belakangan ini orang lebih cenderung setuju dengan teori yang kedua (Abbas dkk, 1991; Kresno, 1991; Subowo, 1993).
Teori reseptor tunggal tersebut menjelaskan bahwa abtigen yang akan diproses dan antigen MHC harus merupakan suatu kesatuan kompleks yang harus cocok dengan reseptor pengenal tunggal dari limfosit T. Dengan demikian molekul MHC pada mulanya bertindak sebagai reseptor primer untuk antigen yang telah diproses dan selanjutnya sebagai kompleks molekul baru yang akan berikatan secara tepat dengan reseptor sekunder pada limfosit T agar terjadi respon imun.
Untuk membangkitkan suatu respon imun, agar antigen dapat ditangkap oleh limfosit T, maka adanya kesesuaian antara molekul MHC yang berbeda pada setiap individu dengan antigen yang telah diproses oleh sel inang merupakan tahap pertama yang sangat menentukan (okama, 1982; Vitetta, 1989).
Aktivasi Limfosit T
Aktivasi limfosit T merupakan akibat dari interaksi ligan-reseptor yang berlangsung antara permukaan limfosit T dan sel penyaji antigen (APC). Interaksi ini akan mengawali peristiwa biokimia dalam sel T yang memuncak dalam bentuk respon seluler. Walaupun telah jelas bahwa sejumlah molekul permukaan sel yang berbeda-beda pada sel T dan sel penyaji ikut berperan dalam interaksi antar sel selama penyajian yang rumit, namun untuk aktivasi limfosit T oleh antigen paling sedikit harus melibatkan perangsangan reseptor antigen dari sel T (TCR). Antigen yang terikat oleh molekul MHC merupakan ligan untuk reseptor pada limfosit T (Abbas dkk, 1991; Roitt dkk., 1993; Kresno, 1991).
Rangsangan oleh induksi sel antigen dapat dianggap sebagai pemberian rangasangan primer dalam mengawali aktivitas limfosit T. Rangsangan pada T cell receptor (TCR) saja tidak cukup untuk menginduksi terjadinya pembelahan sel T dalam tahap Go. Molekul-molekul permukaan yang lain pada sel T istirahat ikut berperan pula dalam aktivasi sel sebagai molekul pelengkap dengan cara berikatan dengan molekul mitranya pada sel penyaji atau sel sasaran. Molekul-molekul pelengkap ini ada yang bertindak sebagai reseptor untuk molekul permukaan sel penyaji atau reseptor untuk molekul protein yang dihasilkan oleh sel penyaji. Molekul pelengkap tersebut berperan dalam proses aktivasi :
- Sebagai molekul perekat, akan memperkuat interaksi antara sek T dengan sel penyaji.
- Sebagai transduser, antara sinyal transmembran yang diterima oleh reseptor antigen (Ti/TCT).
- Untuk mengawali sinyal transmembran mereka sendiri yang berbeda dengan sinyal yang melalui TCR.
Interaksi antara TCR dengan ligannya (antigen+MHC) megawali aktivasi seluler dengan cara menginduksi sinyal transmembran. Transduksi sinyal semacam ini bermanifestasi dalam bentuk mediator intraseluler yang dinamakan dengan“second messenger“ yang berfungsi untuk melalui aktivasi sel (Vitetta, 1989; Hendrik, 1989; Abbas, 1991).
Selama terjadinya proses aktivasi, akan berlangsung transduksi sinyal melalui TCR baik secara lansung maupun secara tidak langsung, sedangkan periode berikutnya terjadi pembelahan sel yang pada umumya sebagai hasil dari sederetan aktivasi gen yang sangat kompleks. Dengan demikian aktivasi seluler dari limfosit T istirahat, menghasilkan ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi limfogen, pembelahan sel dan diferensiasi sel menjadi sel efektor.
Interaksi antara antigen yang disajikan oleh APC dengan limfosit T helper (Th), merupakan tahap awal terjadinya respon imun seluler maupun respon imun humoral. Sel T dan sel B berkomunikasi satu dengan yang lainnya melalui berbagai reseptor dan berbagai sebstansi yang diproduksi. Subpopulasi sel T yang bereaksi dengan antigen yang ditampilkan bersama dengan MHC berbeda satu dengan yang lainnya tergantung dari sifat antigen dan MHC yang mengikat dan yang menampilkannya. Sel T yang disebut CD4+ bereaksi dengan antigen yang diproses oleh APC dan dipresentasikan bersama dengan MHC kelas II. Sub populasi sel T yang lain yaitu CD8+ yang berfungsi sebagai sel sitotoksi bereaksi dengan antigen yang dibentuk oleh sel, misalnya protein virus atau antigen histokompatibilitas minor, yang ditampilkan bersama dengan MHC kelas I. Proses pengikatan antigen yang dibentuk dengan MHC kelas I dapat berlangsung saat sintesis atau perakitan kedua molekul bersangkutan. Presentasi antigen yang terikat pada MHC kelas I merangsang sel T sitotoksik untuk melancarkan aksinya (Vitetta dkk, 1989; Hendrik, 1989; Roitt dkk, 1993).
Antigen yang ditangkap oleh makrofag atau oleh sel-sel APC yang lain akan masuk kedalam sel dengan cara endositosis atau pinositosis. Sebagai APC baik makrofag maupun sel B mempunyai fungsi yang sama tetapi sel B mempunyai kelebihan dari makrofag karena sel B mampu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan (sIg). Dengan demikian antigen dalam jumlah kecilpun akan dapat ditangkap dan diproses sehingga sel B dapat berfungsi sangat efisien. Tetapi jika konsentrasi antigen cukup tinggi sel B tidak perlu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan karena proses internalisasi dapat terjadi dengan cara pinositosis pada makrofag (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Antigen di dalam sel diproses dengan berbagai cara diantaranya melalui proses denaturasi atau proteolisis yang terjadi di dalam endosom. Segmen-segmen yang bersifat hidrofobik kemudian dimunculkan kembali pada permukaan sel bersama-sama dengan MHC. Pada beberapa keadaan antigen tidak dirombak dengan cara proteolisis tetapi hanya dirubah konfigurasinya atau hanya dilekatkan pada molekul lipid (Vitetta dkk, 1989; Subowo, 1993).
AKTIVASI LIMFOSIT DAN PRODUKSI ANTIBODI
Aktivasi limfosit T, khususnya limfosit Th dari interaksi antara reseptor sel T + kompleks antigen-MHC kelas II yang terdapat di permukaan APC. Selain menyajikan antigen, APC juga memproduksi interleukin-1 yang mampu merangsang pertumbuhan sel T. Interaksi ini merangsang berbagai reaksi biokimia di dalam sel T, diantaranya adalah perombakan fosfatidil-inositol dan peningkatan konsentrasi ion Ca++ serta aktivasi protein kinase-C yang diperlukan sebagai katalisator pada fosforilasi berbagai jenis protein. Reaksi-reaksi diatas mengakibatkan serangkaian reaksi-reaksi yang menghasilkan ekspresi reseptor IL-2 dan roduksi IL-2 yang diperlukan untuk proliferasi sel selanjutnya (Grey dkk, 1989; Abbas dkk, 1991; Roitt dkk, 1993).
Sebagian dari sel T selanjutnya akan berfungsi sebagai sel T helper-inducer untuk membantu sel B, sebagian lagi akan kembali dalam keadaan istirahat menjadi sel memori. Aktivasi sel B dapat terjadi atas rangsangan antigen T-independen tipe Im antigen T-independen tipe II dan antigen T-dependen. Antigen T-dependen memerlukan bantuan sel Th. Antigen T-independen tipe I dalam konsentrasi tinggi mampu merangsang sel B secara poliklonal tanpa mengindahkan spesifsitas reseptor permukaan sel B. Contoh antigen seperti ini adalah lipopolisakarida pada permukaan sel bakteri. Tetapi pada konsentrasi rendah sel B dengan sIg spesifik sebagai reseptor dapat menangkap antigen sehingga sel teraktivasi.
Antigen T-independen tipe II adalah antigen yang tidak segera dirombak didalam tubuh misalnya polisakarida pneumokokus, polimer polivinilpirolidon (PVP) yang mampu merangsang sel B tanpa banuan sel Th. Antigen dapat melekat dengan aviditas kuat pada permukaan sel B dengan ikatan multivalen melalui sIg. Pada umumnya antigen T-independen merangsang pembentukan IgM. Sebagian besar antigen adalah T-dependen yang berarti respon pada sel B baru dapat terjadi atas rangsangan sel T. Agar sel B apat dirangsang oleh sel T maka MHC kelas II pada permukaan kedua sel harus sesuai. Hal ini penting untuk interaksi antara sel T dengan sel B dalam keadaan istirahat (resting B cells). Dilain pihak sel B yang sudah teraktivasi oleh kompleks antigen-MHC yang relevan.
Sel T yang diaktivasi oleh antigen akan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang diperlukan untuk proliferasi sel T sendiri, disampign itu sel T juga memproduksi berbagai faktor atau limfokin yang dapat merangsang perubahan pada berbagai jenis sel antara lain sel B, sel T sitotoksik, makrofag dan lain-lain karenanya sel itu disebut sel T inducer (Grey dkk, 1989; Hendrik, 1989; Vitetta dkk, 1989).
Berbagai jenis limfokin yang diproduksi oleh sel T dan dipergunakan untuk merangsang sel B adalah: B-cell stimulatory factor (IL 4), B-cell growth factor (II-6), B-cell differentiation factor-µu (BCDF- µu) dan BCDF-gamma serta gamma interferon. Dengan rangsangan limfokin diatas sel B berproliferasi dan berdiferensiasi lebih lanjut menjadi sel plasma dan memproduksi imunoglobulin. BCDF- µu merangsang produksi IgM yang diproduksi menjadi IgG dan selanjutnya akan terjadi sintesa dan sekresi immunoglobulin oleh sel plasma (Abbs dkk, 1991; Kresno, 1991).
Selain berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi imunoglobulin, stimulasi sel B perawan menyebabkan terbetuknya klon sel B yang perlahan-lahan kembali leleadaan istirahat dan menjadi sel memori. Sel ini seringkali mengekspresikan reseptor yang mengalami mutasi dan menunjukkan afinitas yang lebih tinggi. Sel B memori maupun sel T memori akan meninggalkan kelenjar limfe, limpa atau jaringan limfoid lain kemudian masuk kedalam pembuluh limfe dan pembuluh darah untuk melakukan surveillance (Bellanti, 1985; Subowo, 1993; Kresno, 1991).
Respon imun sekunder pada umumnya timbul lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan dengan respon primer. Hal ini disebabkan oleh karena adanya sel T dan sel B memori seta antibodi yang tersisa. Antigen dapat dikenal oleh sel B spesifik secara lebih efisien. Dalam hal ini sel B bertindak sebgai APC. Karena jumlah sel T dan sel B spesifik lebih banyak, kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen lebih besar, sehingga titer antibodi juga cepat meningkat. Disamping itu antibodi yang tersisa juga dapat bereaksi dengan antigen sehingga kompleks antigen antibodi lebih mudah ditangkap oleh APC dan diproses dan selanjutnya akan terjadi stimulasi sel T dan sel B seperti halnya pada respons imun tetapi dengan kecepatan efisiensi lebih tinggi (Bellanti, 1985;Roitt dkk, 1993).
REGULASI RESPONS IMUN
Setelah terbentuk antibodi, antigen dihancurkan atau dinetralkan oleh antibodi, sehingga hanya imunosit dengan afinitas reseptor yang tinggi sajalah yang dapat mengenali antigen, dengan demikian aktivitas imunosit makin lama makin berkurang. Penurunan aktivitas ini selain diatur oleh penurunan jumlah antigen juga disebabkan oleh antibodi itu sendiri yang dapat memberikan umpan balik negatif. Penurunan aktivitas imunosit itu juga terjadi karena penangkapan kompleks antigen-antibodi oleh APC dalam kondisi antibodi poliklonal berlebihan menjadi kurang efisien akibat banyaknya reseptor Fc yang dapat ditempati oleh imunoglobulin yang mengikat molekul antigen. Selain itu antigen yang terikat pada antibodi dalam kondisi antibodi berlebihan juga terlindung dari proteolisis. Akibatnya pemrosesan antigen akan terganggu, sehingga aktivasi sel T juga terhambat (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Faktor lain yang berperan dalam pengendalian respon imun adalah limfosit T. Pengendalian atau penekanan respons imun diawali dengan aktivasi sel T suppresor-inducer yang akan memicu aktivias sel T penekan. Percobaan secara invitro menunjukkan bahwa aktivasi sel T suppressor-inducer terjadi karena adanya kontak dengan antigen yang disajikan oleh sel T-supressor (Ts) melalui determinan I-J yang diekspresikan bersama MHC kelas II. Molekul I-J dianggap menggambarkan idiotip pada sel Ts yang dipilih oleh MHC kelas II saat terjadinya perkembangan sel.
Hipotesis ini adalah melalui pengenalan idiotip pada reseptor Th oleh antiidiotip pada sel Ts atau interaksi antara antiidiotip dengan antibodi terhadap terhadap antiidiotip (anti-antiidiotip) karenan antiidiotip dalam keadaan tertentu dapat meniru (mimic) antigen. Sebagai contoh, hormon yang terikat pada reseptor akan mengikat antihormon, kemudian antibodi terhadap antihormon (anti-antihormon) mengikat antihormon. Karena reseptor dan antihormon dapat mengikat hormone dank arena antihormon dapat mengikat antibody terhada antihormon maka anti-hormon ini dapat mengikat reseptor. Dengan demikian interaksi idiotip-antiidiotip memungkinkan sel Ts melakukan fungsi penekanan pada sel Th maupun sel B. penekanan juga dapat terjadi secara nonspesifik, misalnya dengan menginkubasikan sel T dengan activator poliklonal Con A. selain itu factor-faktor penekan yang diproduksi oleh sel Ts dapat diikat oleh APC. Pengikatan itu antara lain mengakibatkan sintesis IL-1 dihambat, sehingga kemampuan APC menjadi berkurang. Jumlah sel Ts yang diaktivasi tergantung dari berbagai hal. Seperti jumlah dan cara masuknya antigen, seta umur dan dasar genetic individu bersangkutan (Kresno, 1991; Roitt dkk, 1993; Subowo, 1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar