Penuntun Praktikum Ilmu Penyakit Bakterial dan Jamur
Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
Denpasar
2001
Tata Tertib Praktikum Mikrobiologi
Agar kegiatan praktikum berjalan dengan tertib, aman, dan lancar serta terhindar dari bahaya yang mungkin timbul, maka sebelum melakukan praktikum harus menaati ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Jangan membawa barang-barang yang tidak digunakan dalam praktikum dan tempatkan pada tempat yang telah disediakan.
Gunakan pakaian kerja (jas lab) yang bersih, untuk menghindari kontaminasi, infeksi dan sebagainya.
Sebelum diadakan praktikum, maka peserta praktikum sudah siap dengan topik yang akan dipraktikkan, sehingga praktikum dapat berjalan dengan lancar.
Tidak boleh makan dan minum didalam laboratorium kecuali berkaitan dengan praktikum seperti uji organoleptik.
Pakailah alat-alat lab secara baik dan benar, kalau belum tahu cara pengoperasiannya dapat ditanyakan kepada petugas.
Semua benda atau bahan-bahan yang sudah tidak dipakai lagi seperti korek api, kertas dan lain sebagainya ditempatkan pada suatu tempat yang telah disediakan.
Dilarang membuang biakan hidup ke bak pencuci atau sembarang tempat, tetapi buanglah pada tempat yang telah disediakan.
Setelah pekerjaan selesai, bersihkan semua alat0alat yang telah dipakai dan taruh pada tempat yang telah disediakan.
Sebelum meninggalkan lab, matikanlampu, kompor dan kran air.
Buat catatan-catatan tentang kegiatan praktikum serta hasil yang diperoleh.
Tinja, organ atau darah dibawa oleh peserta praktikum/group. Aquase steril, alkohol, spritus, NA, MCA, TSIA, Simmon Citrate, SIM, MRVP.
Di alam terdapat beraneka macam mikroba hidup secara berdampingan tanpa kita sadari. Mikroba tersebut dapat berupa bakteri, jamur, parasit maupun virus. Untuk mengetahui jenis-jenis kuman yang terdapat dialam maupun yang terdapat pada hewan yang sakit maka perlu dilakukan isolasi dan identifikasi kuman.
Isolasi dalam pengertian ini adalah transfer atau usaha memindahkan mikroorganisme dari tempat hidupnya ke media buatan yang sesuai. Juga dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk memperioleh isolat atau koloni kuman dari suatu media tertentu yang sesuai atau dari suatu bahan/spesimen. Sedangkan identifikasi merupakan kelanjutan dari proses isolasi yang bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat khas dari suatu kuman dengan demikian akan diperoleh nama bakteri yang bersangkutan. Pada identifikasi kuman akan menyangkut uji biokimia, uji gula-gula maupun uji serologis.
Karena beraneka ragam bakteri yang ada didalam spesimen, maka pada isolasi pertama (biakan pertama) akan tumbuh berjenis-jenis kuman. Dengan demikian akan menulitkan baik dalam identifikasi koloni maupun dalam pengambilan koloni untuk uji selanjutnya. Untuk mengatasi kejadian ini maka koloni-koloni tersebut perlu dibiakkan ulang (sub-culture) pada media biakan yang berbeda.
Ada beberapa hal yang harus dipahami sebelum melakukan pemupukan kuman antara lain :
a.Spesimen dan cara pengambilan spesimen.
b.Seleksi media yang sesuai dengan kebutuhan kuman
c.Kondisi inkubasi
Spesimen yang dipakai dalam pemeriksaan kuman dapat berupa tinja, darah, urin, jaringan/organ, pus, cairan udem dan lain sebagainya. Spesimen yang akan diambil harus dikaitkan dengan proses penyakit pada hewan, tanda-tanda klinis yang terlihat kerusakan-kerusakan pada organ dalam dan sebgainya. Dengan demikian sebelum mengambil spesimen praktikan diharaokan telah mengetahui terlebih dahulu kriteria penyakit infeksi.
Cara pengambilan spesimen harus dilaksanakan secara aseptis artinya bebas dari kontaminan yang tidak diharapkan, alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus juga steril. Disamping itu perlu dipertahankan agar kuman dalam spesimen tersebut tetap hidup dengan jalan menempatkan pada suhu rendah atau pada spesimen diberikan media transport.
Pemakainan media biakan harus disesuaikan dengan jenis kuman yang akan diperiksa, karena masing-masing kuman kadang-kadang memerlukan zat-zat tertentu untuk pertumbuhannya. Misalnya kuman streptococcus memerlukan darah/serum kuda, keuman Haemophilus memerlukan faktor z dan faktor v untuk memacu pertumbuhannya dan untuk mengisolasi jamur dipakai media biakan Sabouraud agar.
Setelah dipupuk pada media biakkan maka perlu dieramkan (inkubasi) pada inkubator. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam inkubasi kuman adalah :
Oksigen. Kebutuhan akan oksigen berbeda-beda. Ada kuman yang memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya (aerob) ada yang tidak memerlukan oksigen (anaerob), memerlukan sedikit oksigen dalam jumlah yang terbatas (mikroaerob) dan ada oksigen akan tumbuh tidak ada oksigen juga tumbuh (fakultatif anaerob).
Temperatur. Secara umum bakteri yang patogen akan tumbuh pda suhu 37°C. Namun ada juga bakteri tertentu yang pertumbuhannya memerlukan suhu optimum berkisar 22-25°C seperti jamur, 29-30°C untuk leptospira.
Waktu. Pada umumnya kuman memerlukan waktu inkubasi selama 24 jam, tetapi beberapa kuman seperti Brucella, Leptospira, Campylobacter, Mycobacterium dan beberapa jenis jamur perlu waktu inkubasi lebih lama bahkan dapat berminggu-minggu baru tumbuh.
Setelah kuman-kuman tersebut tumbuh, pilihlah salah satu koloni terpisah untuk mendapatkan biakkan murni, biakkan murni tersebut selanjutnya digunakan untuk penyelidikan sifat-sifat kuman. Sifat-sifat kuman yang digunakan dalam identifikasi adalah :
1.Sifat-sifat morfologik dan hasil pewarnaan
Dalam bagian ini ditentukan bentuk sel kuman (kokus, basil atau spiral), susunan sel kuman, ukurannya, ada tidaknya spora, bekapsul, bersifat Gram positif atau negatif dan sebagainya.
2.Sifat-sifat biakkan
Dari pertumbuhan kuman pada media cair dan padat diperoleh keterangan-keterangan tambahan untuk identifikasi kuman. Pada perbenihan cair dapat dilihat : kekeruhan, endapan, bau. Pada perbenihan padat dapat dilihat : bentuk koloni, warnanya, elevasi, bau, konsistensi, tepi dan diameter koloni. Pada agar miring kuman dapat tumbuh terbatas pada daerah usapan, menyebar dan sebagainya. Pada agar semi solid dapat dilihat pergerakan kuman, pencairan perbenihan seperti pada gelatin.
3.Sifat-sifat fisiologi dan biokimia
Pada bagian ini meliputi antara lain : suhu yang terbaik untuk pertumbuhan, sifat pertumbuhannya aerob/anaerob, kemampuan kuman untuk membentuk H2S, asetil metil karbinol, indol, juga fermentasi karbohidrat dan lain sebagainya.
4.Patogenesis kuman
Patogenitas kuman dapat diketahui dengan melakukan penyuntikan kuman tersebut pada binatang percobaan, misalnya marmut, mencit, kelinci dan sebagainya.
5.Tes serologi
Kuman yang disuntikkan pada binatang percobaan akan merangsang binatang tersebut untuk membuat zat anti di dalam tubuhnya. Tes aglutinasi antara kuman dengan serum antinya diatas objek gelas disebut slide agglutination test atau tes aglutinasi secara cepat. Tes hasilnya positif ditandai dengan adanya aglutinat seperti pasir putih halus terbentuk dalam waktu relatif singkat (± 2 menit ). Disamping tes ini juga banyak tes serologik lainnya.
Secara garis besar tahapan-tahapan yang dilakukan dalam isolasi dan identifikasi bakteri dan spesimen klinik :
(Sumber : Carter, G.R., 1984)
PETUNUJUK CARA ISOLASI DAN IDENTIFIKASI
A.Isolasi Kuman
Tugas praktikan adalah membawa spesimen berupa organ, rektal swab (tinja), pus, cairan udema dan lain sebgainya. Untuk mempertahankan kuman tetap hidup dan tidak ada bakteri kontaminan dalam spesimen maka perlu beberapa perlakuan khusus.
Berikut ini adalah salah satu cara pengambilan spesimen yang baik :
Cara pengambilan organ adalah sebgai berikut :
-Persiapkan terlebih dahulu pinset dan gunting steril.
-Organ yang akan diambil dipegang dengan pinset dan dipotong dengan gunting tersebut.
-Masukkan organ tersebut kedalam kantong plastik steril lalu ditutup rapat-rapat. Harus diingat organ tersebut tidak boleh menyentuh bahan atau organ lain atau digabungkan dengan bahan/organ lain dalam satu wadah,kantong plastik tersebut dimasukkan dalam termos es atau disimpan pada suhu dingin (dalam kulkas ± 4°C, selanjutnya segera dibawa ke laboratorium untuk diperiksa, bahan yang diperiksa harus dilengkapi dengan label atau catatan, misalnya sejarah singkat penyakit, hospes penderita, gejala klinis, nama organ dan sebagainya.
-Bahan terseut ditaruh dalam cawan petri steril, untuk mencegah kontaminan pada permukaan spesimen tersebut, maka permukaan bahan tersebut bisa diolesi dengan yodium tinctur atau permukaannya dibakar sesaat diatas nyala api (flame bunsen).
Cara melakukan pemupukan :
- Dengan menggunakan gunting steril, bahan tersebut dilukai atau dikoyak dengan ose steril, lalu cairannya diambil dengan ose steril kemudian diusapkan pada permukaan media biakkan. Untuk spesimen yang berasal daru tinja, pus atau cairan udema diambil dengan ose yang steril dan langsung diusapkan pada permukaan media. Pemupukan dilakukan pada media umum (nutrient agar) dan media selektif misalnya MacConkey atau Eosin Methylen Blue Agar dengan menggunakan salah satu metode pemupukan misalnya multiple line. Sebelum bahan tersebut dipupuk dalam media plate agar tersebut maka yang harus diperhatikan adalah media yang dipakai harus steril, permukaan media harus sudah kering. Setelah melakukan pemupukan media tersebut diinkubasikan dalam suhu 37°C selama 24 jam. Catat dan identifikasikan koloni yang tumbuh pada media tersebut, meliputi bentuk, warna, tepian, elevasi, konsistensi, bau dan diameter koloni.
B.IDENTIFIKASI KUMAN
Identifikasi kuman merupakan kelanjutan dari isolasi kuman pada berbagai media biakkan. Dalam identifikasi ini akan meliputi uji biokimia kuman, uji gula-gula, uji serologis dan uji biologis, karena keterbatasan sarana yang tersedia maka dalam praktikum ini hanya dilakukan uji biokimia pda berbagai media dan uji serologis untuk kuman salmonella.
Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Media ini termasuk media padat dan bentuknyya setengah miring.
Formula dari media ini dalam gram/ml (oxoid) :
Lab-lemco Powder 3,0
Yeast ektrak 3,0
Peptone 20,0
Sodium Chloride 5,0
Laktose 10,0
Sukrose 10,0
Glukose (Dekstrose) 1,0
Feric Citrat 0,3
Sodium Thiosulphat 0,3
Phenol red qs
Agar 12,0
Cara : Ambil koloni kuman dengan ese runcing steril (needle) dari hasil isolasi pada media selektif yang telah anda lakukan. Pupuk dengan cara menusukkan pada bagian tegak dari medium lalu digoreskan pada bagian miring medium, selanjutnya medium tersebut diinkubasikan pada 37°C selama 24 jam.
Catat sifat kuman pada media tersebut. Dengan melihat adanya acid slant, acid butt yang ditandai dengan perubahan warna media pada bagian tegak/miring. Adanya gas dapat diamati dengan adanya gelembung gas pada media, keretakan pada media atau media akan terangkat keujung tabung dan produksi gas H2S akan terlihat jika media berubah menjadi hitam.
Sulfide Indol Motillity (SIM) = Agar Semi Solid
Media ini termasuk media semisolid (setengah padat). Kegunaan media ini adalah untuk mengetahui sifat kuman dalam memproduksi H2S, Indol dan pergerakan kuman (motilitas).
Formulanya (Oxoid) dalam gram/ml adalah :
Tryptopan 20,0
Pepton 6,1
Ferrous ammonium sulphat 0,2
Sodium thiosulphate 0,2
Agar No.1 3,5
Cara : Ambil koloni kuman dengan ose runcing steril (needle) dari hasil isolasi yang telah anda lakkan, pupuk dengan cara menusukkan secara tegak lurus pda medium, lalu diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24jam
Catat hasilnya meliputi: produksi H2S ditandai dengan media berwarna hitam, produksi indol dapat dilihat setelah ditetesi dengan reagen Erlich/Kovac’s sebanyak 3-5 tetes kedalam media, bila indol positif terbentuk cincin merah pada permukaan medium, kuman motil akan terlihat kekaburan media ditempat tusukan.
MRVP Medium (Methyl Red Voges Proskauer Medium)
Formulanya (Oxoid) dalam gram/ml adalah:
Pepton P 5.0
Dekstrose 0.5
Phospat Buffer 5.0
Cara: Pupuk koloni yang dicurigai tadi kedalam medium MRVP dengan ose steril yang telah dibebani kuman lalu dicelupkan kedalam medium tersebut, selanjutnya medium tersebut diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Selanjutnya media tersebut dibagi kedalam dua tabung yang steril. Tabung pertama ditetesi dengan reagen MR dan tabung kedua ditetesi dengan reagen VP. Catat sifat pertumbuhan kuman meliputi produksi asam tunggal atau campuran setelah ditetesi dengan reagen MR dan produksi asam meril korinol setelah ditetesi dengan reagen VP. Hasil yang positif ditandai dengan adaynya warna merah pada medium. (Cincin warna merah).
Simmon Citrat Agar.
Media merupakan media padat dan bentuknya sangat miring.
Formulanya (oxoid) dalam gram/ml adaah:
Magnesium Sulphate 6.2
Ammonium Dihydrogen Phospate 6.2
Sodium Ammonium Phospate 0.8
Socium Citrate Tribasic 2.0
Sodium Chlorida 5.0
Brom Thymol Blue 0.08
Agar 15.0
Cara: Dengan ose steril ambil koloni kuman yang dicurigai tersebut lalu usapkan pada permukaan medium mulai dari pangkal sampai keujung yang lain. Inkubasikan medium tersebut pada suhu 37°C selama 24 jam. Catat sifat pertumbuhan kuman apakah kuman mampu memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbonnya atau tidak. Pertumbuhan kuman ditandai dengan perubahan warna media dari hijau menjadi biru.
Tes Serologis
Koloni yang tumbuh dicurigai kumnan Salmonella akan dilanjutkan dengan tes serologis secara cepat.
Cara:Ambil tabung reaksi yang telah berisi fenol salin, kemudian ambil koloni kuman yang dicurigai Salmonella dan masukkan kedalam tabung reaksi tadi. Lalu dilarutkan dengan jalan digoyang-goyangkan. Kemudian ambil objek gelas yang bersih lalu tetesi dengan serum Salmonella sebanyak 1 tetes. Selanjutnya ambil sebanyak satu loop penuh suspensi tadi dan letakkan pada tetesan serum Salmonella tadi, sambil digoyang-goyangkan. Apabila positif akan terbentuk aglutinat seperti pasir berwarna putih dalam jangka waktu sekitar 1-2 menit.
II.
PENENTUAN KEPEKAAN KUMAN TERHADAP ANTIBIOTIKA
Keberhasilan pengobatan terhadap infeksi bakterial, sangat ditentukan oleh ketepatan memilih obat, ketepatan dosis, dan tepat waktu. Pada praktikum kali ini akan diperkenalkan bagaimana cara memilih obat antibiotika secara tepat, yakni menguji antibiotika tersebut secara invitro terlebih dahulu.
Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah kuman yang telah diisolasi (sebagai penyebab infeksi)sensitif, intermedier, atau resisten terhadap antibiotika. Untuk keperluan tersebut diperlukan beberapa jenis antibiotika, kuman yang akan diuji dan media pertumbuhan.
Antibiotika yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi tersebut adalah antibiotika yang pada uji invitro menunjukkan kuman sensitif atau intermedier terhadap antibiotika tersebut, sedang bila menunjukkan resisten tidak dapat digunakan. Disamping itu aplikasi pada penderita perlu dipertimbangkan apakah hewan yang diobati tidal alergi terhadap antibiotika yang akan diberikan.
Penentuan kepekaan kuman terhadap suatu antibiotika adalah penentuan kadar obat terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan kuman secara invitro. Sekarang ini telah banyak cara yang ditempuh pada uji kepekaan kuman. Masing-masing cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Dalam hal ini WHO telah menetapkan suatu standar yang memungkinkan suatu laboratorium meninjau cara-cara mereka, sehingga hasil pemeriksaan yang dilaporkan akan mempunyai satu dasar yang sama.
Dibawah ini diuraikan beberapa cara penentuan kepekaan kuman terhadap antibiotika yang digunakan.
a.Cara Difusi Cakram Menurut Metode Kirby-Bauer.
Cara ini paling banyak dipakai untuk menentukan kepekaan kuman terhadap berbagai macam antibiotika. Disini dipergunakan cakram kertas saring yang mengandung suatu obat dengan konsentrasi tertentu yang ditempelkan pada lempeng agar yang telah ditanami kuman. Hambatan (killing zone) akan tampak sebagai daerah yang tidak memperlihatkan pertumbuhan kuman disekitar cakram. Lebar daerah hambatan ini tergantung ada daya serap obat kedalam agar dan kepekaan kuman terhadap obat tersebut.
2.Inkubasikna perbenihan tersebut pada suhu 37°C elama 2-5 jam.
3.Ambil biakkan tersebut dan cocokkan kekeruhan biakkan tersebut dengan standar kekeruhan Max Farland (setara dengan kandungan kuman 106 sel per ml).
4.Apabila telah sesuai biakkan pupuk tersebut dengan menggunakan swab steril keseluruh permukaan media Mueller-Hinton agar plate secara merata, kemudian diamkan sampai 30 menit agar biakkan meresap.
5.ambil kertas cakram (paper disk)yang telah diketahui mengandung antibiotika dengan pinset yang steril dan tempelkan pada permukaan media Mueller-Hinton tersebut. Jarak tempel antara stu paper disk dengan paper disk yang lain minimal 2 cm dan 2cm dari tepi plate. Pada lempeng petri yang mempunyai garis tengah 150 mm dapat dipakai 9 cakram dalam tiap lempeng.
6.Inkubasikan perbenihan tadi pada suhu 37°C selama 18-24 jam.
7.Amati dan ukur diameter killing zone yang terbentuk pada tiap cakram.
8.Cocokkan killing zone dalam mm yang terbentuk dengan standar, setelah itu baru bisa disimpulkan apakah kuman tersebut peka, kurang peka atau resisten terhadap obat yang diperiksa. Misalnya standar killing zone sebagai contoh:
Obat
Konsentrasi
(µg)
Resistensi
(mm)
Kurang Peka
(mm)
Peka
(mm)
Tetrasiklin
Eritromisin
Kloramfenikol
Streptomisin
30
15
30
10
14< 13<
12<
11<
15-18
14-17
13-17
12-14
18>
18>
18>
15>
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada metode difusi cakram :
Dianjurkan untuk menggunakan biakkan kontrol sebagai pembanding kuman yang diperiksa terhadap obat yang dipakai.
Bila menggunakan terapi kombinasi janganlah memakai cakram yang ditumpuk.
Jangan memakai paper disk yang kadaluarsa.
Harus meperhatikan [rosedur penyimpanan obat agar tetap stabil.
Hasil yang meragukan sebaiknya dianggap lebih resisten, bila perlu diulang lagi dengan cara yang sama.
Besar daerah hambatan harus disesuaikan dengan standar internasional.
Untuk kuman Staphilococcus dianggap peka terhadap penicillin apabila daerah hambatan yang terbentuk lebih dari 20 mm.
Apabila terjadi pertumbuhan koloni kecil-kecil pada daerah bening disekitar cakram maka dinyatakan resisten.
b.Cara Penipisan Lempeng Agar
Prinsip dari cara ini adalah penghambatan pertumbuhan kuman pada permukaan agar terhadap obat yang dicampurkan kedalam perbenihan. Biasanya disediakan satu seri lempeng agar dengan penipisan yang berbeda-beda. Dalam hal ini prinsipnya adalah penentuan konsentrasi terkecil dari antibiotika yang mampu menghambat pertumbuhan kuman (MIC=Minimal Inhibitory Concentration) secara in-vitro.
Prinsip kerjanya meliputi: Larutan antibiotika dibuat secara aseptik dengan melakukan pengenceran sehingga diperoleh suatu larutan yang mengandung 100µ/ml (larutan stock) dari larutan ini dibuat satu seri penipisan sesuai yang dikehendaki. Media biakkan yang sering dipakai dala uji kepekaan kuman adalah Mueller-Hinton Agar, Trypticase Soy Agar, Diagnostic Sensitivity Agar.
Lempeng agar dibuat dengan cara mencairkan 19ml agar tuangan yang telah disediakan, kemudian sterilisasi lalu didinginkan sampai 15-10°C, kemudian tambahkan 2 ml obat yang telah ditipiskan, campurkan dengan cara memutar-mutar cawan petri kekanan-kekiri 3-5 kali. Selanjutnya lempeng agar dibiarkan membeku.
Suspensi kuman uji yang telah murni diperoleh dengan menginokulasikan 5 koloni kuman kedalam tabung yang berisi 5 ml perbenihan cair yang mempunyai formula sama dengan formula lempeng agar. Perbenihan diinkubasikan 16-24 jam pada suhu 37°C kemudian biakkan ini diencerkan sehingga diperoleh biakkan yang mengandung kuman 105 - 106 per ml. Biasanya untuk kuman coccus gram positif diperlukan penipisan 1:1000 dan untuk batang gram negatif 1:100.000. Lempeng agar dibagi-bagi menjadi beberapa segmen. Teteskan 0.01 ml biakkan diatas pada satu segmen blood agar selanjutnya di inkubasikan selama 18-24 jam.
Pembacaan hasil adalah konsentrasi terkecil obat yang dapat menghambat pertumbuhan kuman. Pertumbuhan yang samar-samar atau tumbuh hanya satu koloni dapat diabaikan tapi bila terdapat beberapa koloni pada beberapa penipisan harus dilakukan pengujian kemurnian kuman. Pada uji ini disarankan memakan kuman kontrol.
c.Cara Pengenceran Tabung
Cara pengenceran tabung untuk menentukan secara kuantitatif konsentrasi terkecil suatu obat yang dapat menghambat pertumbuhan kuman (sama dengan cara penipisan lempeng agar). Prinsipnya adalah penghambatan pertumbuhan kuman dalam perbenihan cair oleh suatu obat yang dicampurkan dalam perbenihan tersebut. Perbenihan yang dipakai merupkan perbenihan yang dapat menumbuhkan secara opimum dan tidak menetralisirkan obat yang dipergunakan. Perbenihan yang sering dilakukan adalah Trypticase Soy atau Tryptic Soy. Untuk kuman anaerob perbenihan yang cocok adalah Thioglycholat. Kadang-kadang untuk pertumbuhan kuman yang fastidious (manja) perlu ditambahkan serum atau asites sebanyak 3%-5% kedalam perbenihan.
Tes dilakukan dengan mempergunakan 1 deretean tabung dengan penipisan-penipisan antibiotika yang dikehendaki. Misalnya larutan Stock antibiotika yang tersedia 100µg/ml. Secara aseptik masukkanlah 0.5 ml media perbenihan cair yang akan dipergunakan ke dalam tipa tabung kecuali tabung 1. Kedalam tabung 1 dan 2 tambahkan 0.5ml larutan stock antibiotika yang akan diperiksa. Campurkan secara merata dan pindahkan 0.5 ml dari tabung 2 ke tabung 3. kerjakan penipisan dengan cara yang sama pada tabung berikutnya sampai tabung 11. Tambahkan 1.5 ml biakkan kuman yang akan diperiksa yang telah diencerkan 1:1000 dari biakkan yang telah dieramkan selama 18-24 jam pada tabung 1 sampai tabung 12, kecuali tabung 11. tabung 12 sebagai kontrol biakan dan tabung 1 sebagai kontrol antibiotika. Konsentrasi akhir obat pada tabung 1=25 µg/ml, tabung 2=12.5µg/ml, tabung 3=6.25 µg/ml dan seterusnya.
Pembacaan hasil:
MIC disini adalah pengenceran tertinggi dari obat yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kuman secara mikroskopis. Tabung 11 akan tampak jernih, sedang tabung 12 harus tampak keruh. Jika stock antibiotika 100µg/ml dan ternyata tabung 3 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan, sedang tabung 4 menjadi keruh maka MIC adalah sebesar 6.25 µg/ml.
Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila perbenihan yang dipakai tampak keruh karena penggunaan semu, asites dan lain sebagainya maka pembacaan hasil harus dibandingkan dengan perbenihan tanpa kuman. Agar antibiotika tidak rusak oleh suhu selama pengeraman maka pembacaan harus dilakukan tidak lebih dari 24 jam walaupun pertumbuhan kuman lambat. Karenanya kestabilan obat atau antibiotika yang diperiksa terhadap kuman tertentu harus dipertahankan.
III
CENDAWAN
Cendawan atau fungi mencakup kapang, khamir, dan jamur. Pada umumhya khamir merupakan sel tunggal sedangkan jamur dan kapang bersel ganda.
Tubuh jamur pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu miselium dan spora. Jamur tersusun dari benang-benang sel panjang yang dihubungkan bersama dari ujung ke ujung. Benang-benang itu disebut hifa. Hifa ini dapat bercabang dan mungkin juga memiliki dinding penyekat yang disebut dengan septa. Dalam beberapa kelas fungi benang-benang ini tidak memiliki septa jadi kelihatan sebagai satu sel panjang yang mengandung banyak inti. Hifa semacam ini disebut dengan Hifa senosit. Dalam pertumbuhan jamur, Hifa ini saling membelit untuk membentuk massa benang yang disebut dengan Miselium. Miselium yang berbulu inilah yang memungkinkan jamur dikenal dengan mudah. Berbagai pigmen dapat teramati pada jamur setelah spora-spora terbentuk.
Faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Jamur.
Umumnya jamur tumbuh baik pada sekitar suhu kamar yang normal (20-30°C) meskipun beberapa jamur ada yang tumbuh baik pada temperatur tinggi (45-50°C) seperti pada Aspergillus fumigatus (Marie Gilstrap et al, 1982). Banyak juga yang tumbuh pada suhu lemari pendingin dan dengan demikian dapat menyebabkan kerusakan pada daging dan sayur mayu dalam penyimpanan dingin. Pada umumnya lingkungan yang hangat dan lembab akan mempercepat pertumbuhan jamur. Berbeda dengan bakteri, Cendawan tidak dapat menggunakan senyawa karbon anorganik seperti misalnya karbondioksida. Karbon harus berasal dari sumber organik, misalnya glukose. Beberapa spesies dapat memanfaatkan senyawa nitrogen, misalnya garam-garam amonium. Tetapi semua cendawan dapat menggunakan nitrogen, itulah sebabnya mengapa medium biakan untuk cendawan biasanya berisikan pepton, suatu produk protein yang terhidrolisis. Jamur memerlukan kelembaban tinggi, persediaan bahan organik (seperti lingkungan yang banyak mengandung gula) dan persediaan oksigen untuk pertumbuhannya.
Pembiakkan:
Untuk mendapatkan koloni yang terpisah dapat dilakukan dengan teknik penggoresan Agar lempengan. Teknik ini lebih menguntungkan bila ditinjau dari sudut ekonomi dan waktu, akan tetapi memerlukan ketrampilan yang diperoleh dengan latihan. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah.
Suspensi dari sampel yang diduga mengandung cendawan (seperti kerokan kulit, sputum, organ/jaringan, cairan spinal, dll) dapat dilakukan penggoresan pada lempengan agar (seperti pada teknik biakkan murni dalam identifikasi bakteri). Media yang dapat dipergunakan untuk pertumbuhan jamur ini adalah Sabouraud’s Glukosa agar atau Potatoes Dekstrosa agar. Suspensi yang telah dibiakkan (digoreskan) pada media tersebut, selanjutnya dieramkan pada suhu kamar selama 24-48 jam.
Sifat biakkan dari cendawan tergantung dari penampilannya pada berbagai media. Koloni yang tumbuh pada media padat diperhatikan (diamati) warna koloni, pinggiran koloni, sifat permukaan, diameter koloni dan bentuknya (tekstur).
Metode Pewarnaan Lactophenol Cotton Blue.
Untuk melihat struktur jamur secara mikroskopis dapat dibuat pewarnaan langsung dengan Lactophenol Cotton Blue.
Cara mengerjakan:
Pada sebuah objek gelas yang bersih, taruhlah setetes Lactophenol Cotton Blue. Zat ini akan menambah kontras sehingga jamur akan terlihat lebih jelas.
Ambilah media Sabaroud’s agar atau Potatoes Dextrosa Agar yang sudah berisi biakan jamur. Ambilah dua atau lebih koloni yang tampak berbeda.
Dengan menggunakan jarum yang tajam ambilah sedikit koloni dan taruh dalam objek gelas yang sudah berisi Lactophenol Cotton Blue. Bagian koloni yang diambil adalah bagian tepi koloni yang sudah berwarna hitam.
Selanjutnya objek gelas ditutup dengan copper glass dan diberi vaselin disekelilingnya.
Ulangi prosedur diatas untuk koloni yang lainnya.
Amati preparat dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x atau 45x.
Dapat pula dilakukan pemeriksaan atau mengidentifikasi agen secara langsung dibawah mikroskop menurut (Stephen, B.H., et al, 1980). Untuk hal ini dapat dilakukan terhadap spesimen seperti nodul, jaringan, pangkal rambut atau kerokan kulit.
Cara Pengerjaan:
Pada sebuah objek glass yang bersih letakkan sedikit spesimen yang dicurigai terinfeksi jamur.
Sediaan tersebut kemudian dipanaskan pelan-pelan (tanpa mendidih), fungsinya untuk menjernihkan jaringan.
Sediaan kemudian ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran kuat.
Penentuan genus dapat dilakukan berdasarkan penampilan koloni pada lempengan agar dan pemeriksaan mikroskopis. Beberapa contoh cendawan yang sering diketemukan dapat dilihat seperti pada gambar lu cari ndiri daaaaahhhhhh.
Antigen adalah suatu substansi yang mampu merangsang terbentuknya respon imun yang dapat dideteksi, baik respon imun seluler, respon imun humoral atau kedua-duanya. Karena sifatnya itu antigen disebut juga sebagai imunogen. Imunogen yang paling poten umumnya merupakan makromolekul protein, polisakarida atau polimer sintetik yang lain seperti polivinilpirolidon (PVP). Imunogenitas dari suatu imunogen bergantung dari antigennya sendiri, cara masuknya, hewan atau manusia yang menerima antigen tersebut dan kepekaan dari metode yang digunakan untuk mendeteksi respon imunnya. Agar antigen dapat dikenali oleh sel limfoid, antigen akan disajikan oleh sel-sel tertentu yang disebut dengan “Antigen Presenting Cells“ (APC) (Abbas dkk, 1991; Roitt dkk., 1993).
Makrofag disaping berfungsi sebagai fagosit profesional juga merupakan APC yang pertama diketahui. Makrofag dijumpai dalam sirkulasi darah maupun dalam jaringan dan bersama-sama dengan sel polimorfonuklear (PMN) melawan zat-zat asing yang patogen. Makrofag mampu menelan antigen yang berbentuk partikel maupun yang larut, kemudian memprosesnya dengan cara degradasi, denaturasi atau modifikasi dan selanjutnya menyajikan fragmen-fragmen antigen tersebut kepada sel T. Selain Makrofag masih ada beberapa sel lain yang dapat berperab sebagai APC (Abbas dkk., 1991; Bellanti, 1985).
Respon imun akan diawali dengan pemrosesan antigen yang disusul dengan presentasi fragmen-fragmen antigen oleh APC. Presentasi ini harus dilakukan bersama-sama dengan MHC kelas II, Limfosit T helper (CD 4+) melalui reseptor TcR akan mengenal antigen yang disajikan bersama dengan MHC kelas II, kemudian memberikan sinyal kepada sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi (Bellanti, 1985; Hendrik, 1989; Subowo, 1993).
Secara garis besar semua sel yang menampilkan MHC kelas II dapat bertindak sebagai APC, misalnya sel-sel dendritik, kupfer, langerhans, endotel, fibroblast dan sel B. Diantara sel-sel diatas sel dendritik, makrofag dan sel B merupakan APC terpenting, bahkan sel dendritik folikuler mampu menyajikan antigen natif dalam bentuk kompleks imun tanpa memprosesnya terlebih dahulu. Diduga sel-sel ini bertindak sebagai tempat menampung antigen natif atau kompleks antigen antibodi. Antigen atau kompleks antigen antibodi melekat pada permukaan sel dendritik folikuler tanpa diproses lebih lanjut. Bagian-bagian sel yang berbentuk tonjolan dilepaskan bersama-sama dengan komplek antigen antobodi dan membentuk butir-butir komplek imun yang disebut dengan icoccomes. Icoccomes ini kemudian ditangkap oleh sel B atau makrofag untuk diproses lebih lanjut. Vitetta et al membuktikan bahwa sel dendritik merupakan APC pertama yang mengaktivasi sel T pada hewan percobaan yang belum pernah tersensitisasi. Sedangkan makrofag dan sel B hanya menyajikan antigen kepada sel Byang teraktivasi atau sel T memori (Abbas dkk, 1991; Roitt dkk, 1993; Kresno, 1991).
Proses Limfosit T mengenali Antigen
Sel-sel imunokompeten agar dapat mengenali antigen maka pada permukaan sel T dan sel B dilengkapi dengan reseptor molekul. Reseptor antigen pada permukaan limfosit T berbentuk heterodimer dengan molekul CD3, sedangkan pada permukaan limfosit B terdapat sebagai molekul imunoglobulin.
Dalam proses pengenalan antigen bakteri atau parasit limfosit B dapat melaksanakan sendiri tanpa bantuan sel yang lain. Sebaliknya limfosit T tidak dapat mengenali secara langsung. Proses pengenalan antigen tersebut memerlukan jenis sel lain yang dinamakan sel pelengkap (Accessory cell) yang berfungsi untuk memproses secara kimia terlebih dahulu agar antigen dapat disajikan kepada limfosit T bersama-sama dengan molekul Major Histocompatibility Complez (MHC) (Hokama, 1982; Grey dkk, 1989; Vitetta dkk, 1989).
Limdosit T hanya dapat menanggapi antigen apabila disajikan oleh sel pelengkap. Sel pelengkap pertama yang diketahui sebagai penyaji antigen (APC) adalah sel makrofag.Sel penyaji akan memproses antigen dahulu sebelum disajikan sebagai molekul yang dikenali oleh limfosit T. Cara memproses dan penyajian antigen“eksogen“ pada umumnya dapat menyebabkan aktivasi limfosit dari sub populasi tertentu sehingga membantu aktivasi limfosit B dalam memproduksi antibodi. Limfosit T yang berperan dalam peristiwa ini adalah limfosit T helper (CD 4) (Roitt dkk, 1993; Subowo, 1993).
Tidak semua antigen yang dikenal oleh limfosit T berasal dari luar sel penyaji. Antigen“endogen“ diperoleh oleh sel penyaji sebagai akibat infeksi virus dalam sel atau dari sel yang telah berubah menjadi ganas. Sel-sel tersebut mengekspresikan antigen khas virus tumor pada permukaannya. Secara teoritis semua sel dalam tubuh inang mempunyai kemampuan sebgai sel penyaji antigen“endogen“ yang khass tersebut, terhadap limfosit T dari sub populasi yang tergolong sel sitotoksik. Sel sitotoksik dapat menanggapi antigen“endogen“ dengan cara membunuh sel-sel yang menyajikannya (Abbas dkk, 1991; Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Sampai saat ini diduga bahwa antigen endogen yang disajikan sebelumnya tidak perlu diproses. Hal ini disebabkan oleh karena protein sebagai antigen endogen tersebut merupakan bentuk ekspresi gen virus atau gen tumor, sehingga limfosit sitotoksik dapat bereaksi langsung terhadap antigen tersebut. Dengan demikian dalam sistem imun terdapat dua jalur terpisah untuk menyampingkan antigen yaitu : Jalur untuk antigen eksogen dan jalur untuk antifen endogen.
Protein bakteri yang diambil oleh limfosit B dari sekitarnya yang kemudian diproses oleh limfosit T helper akan mempunyai dampak diproduksinya antobodi spesifik. Sebaliknya protein abnormal yang dibuat oleh sel inang mendorong aktivasi limfosit T sitotoksik untuk membunuh sel inang. Zinkernagel dan Doherty (1974) mengemukakan bahwa sel limfosit T tidak saja mampu mengenali antigen asing akan tetapi juga molekul MHC yang terdapat pada permukaan sel inang yang dihadapinya. Limfosit T yang telah mengadakan respon imun terhadap antigen yang disajikan oleh sel-sel yang terinfeksi virus bersama-sama molekul MHC kelas I tertentu dengan antigen yang sama tetapi disajikan oleh sel terinfeksi virus dengan molekul MHC kelas I yang berbeda latar belakang genetiknya. Mereka menemukan bahwa apabila molekul protein MHC kelas I pada sel-sel yang terinfeksi virus ini berasal dari individu yang berbeda dengan individu yang pertama maka sel-sel yang terinfeksi virus tersebut tidak akan dibunuh oleh sel-sel T tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, agar limfosit dapat mengadakan respon imun, harus mengenal dua kesatuan antigen yaitu antigen asing dan antigen diri yang spesifik. Persyaratan ini dinamakan dengan “Restriksi MHC“ (Hendrik, 1989; Kresno, 1991; Roitt dkk, 1993).
Ada beberapa hipotesis mengenai cara limfosit T berinteraksi dengan antigen yang terikat pada MHC. Hipotesis pertama menyatakan bahwa interaksi itu dilakukan melalui dua reseptor pada permukaan sel T, dimana satu reseptor berinteraksi dengan antigen sedangkan reseptor yang lainnya berinteraksi dengan MHC. Sedangkan hipotesis kedua mengemukakan bahwa reseptor pada limfosit T berbentuk reseptor tunggal yang secara spesifik mengenal dua antigen asing dan antigen MHC secara bersama-sama. Belakangan ini orang lebih cenderung setuju dengan teori yang kedua (Abbas dkk, 1991; Kresno, 1991; Subowo, 1993).
Teori reseptor tunggal tersebut menjelaskan bahwa abtigen yang akan diproses dan antigen MHC harus merupakan suatu kesatuan kompleks yang harus cocok dengan reseptor pengenal tunggal dari limfosit T. Dengan demikian molekul MHC pada mulanya bertindak sebagai reseptor primer untuk antigen yang telah diproses dan selanjutnya sebagai kompleks molekul baru yang akan berikatan secara tepat dengan reseptor sekunder pada limfosit T agar terjadi respon imun.
Untuk membangkitkan suatu respon imun, agar antigen dapat ditangkap oleh limfosit T, maka adanya kesesuaian antara molekul MHC yang berbeda pada setiap individu dengan antigen yang telah diproses oleh sel inang merupakan tahap pertama yang sangat menentukan (okama, 1982; Vitetta, 1989).
Aktivasi Limfosit T
Aktivasi limfosit T merupakan akibat dari interaksi ligan-reseptor yang berlangsung antara permukaan limfosit T dan sel penyaji antigen (APC). Interaksi ini akan mengawali peristiwa biokimia dalam sel T yang memuncak dalam bentuk respon seluler. Walaupun telah jelas bahwa sejumlah molekul permukaan sel yang berbeda-beda pada sel T dan sel penyaji ikut berperan dalam interaksi antar sel selama penyajian yang rumit, namun untuk aktivasi limfosit T oleh antigen paling sedikit harus melibatkan perangsangan reseptor antigen dari sel T (TCR). Antigen yang terikat oleh molekul MHC merupakan ligan untuk reseptor pada limfosit T (Abbas dkk, 1991; Roitt dkk., 1993; Kresno, 1991).
Rangsangan oleh induksi sel antigen dapat dianggap sebagai pemberian rangasangan primer dalam mengawali aktivitas limfosit T. Rangsangan pada T cell receptor (TCR) saja tidak cukup untuk menginduksi terjadinya pembelahan sel T dalam tahap Go. Molekul-molekul permukaan yang lain pada sel T istirahat ikut berperan pula dalam aktivasi sel sebagai molekul pelengkap dengan cara berikatan dengan molekul mitranya pada sel penyaji atau sel sasaran. Molekul-molekul pelengkap ini ada yang bertindak sebagai reseptor untuk molekul permukaan sel penyaji atau reseptor untuk molekul protein yang dihasilkan oleh sel penyaji. Molekul pelengkap tersebut berperan dalam proses aktivasi :
Sebagai molekul perekat, akan memperkuat interaksi antara sek T dengan sel penyaji.
Sebagai transduser, antara sinyal transmembran yang diterima oleh reseptor antigen (Ti/TCT).
Untuk mengawali sinyal transmembran mereka sendiri yang berbeda dengan sinyal yang melalui TCR.
Interaksi antara TCR dengan ligannya (antigen+MHC) megawali aktivasi seluler dengan cara menginduksi sinyal transmembran. Transduksi sinyal semacam ini bermanifestasi dalam bentuk mediator intraseluler yang dinamakan dengan“second messenger“ yang berfungsi untuk melalui aktivasi sel (Vitetta, 1989; Hendrik, 1989; Abbas, 1991).
Selama terjadinya proses aktivasi, akan berlangsung transduksi sinyal melalui TCR baik secara lansung maupun secara tidak langsung, sedangkan periode berikutnya terjadi pembelahan sel yang pada umumya sebagai hasil dari sederetan aktivasi gen yang sangat kompleks. Dengan demikian aktivasi seluler dari limfosit T istirahat, menghasilkan ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi limfogen, pembelahan sel dan diferensiasi sel menjadi sel efektor.
Interaksi antara antigen yang disajikan oleh APC dengan limfosit T helper (Th), merupakan tahap awal terjadinya respon imun seluler maupun respon imun humoral. Sel T dan sel B berkomunikasi satu dengan yang lainnya melalui berbagai reseptor dan berbagai sebstansi yang diproduksi. Subpopulasi sel T yang bereaksi dengan antigen yang ditampilkan bersama dengan MHC berbeda satu dengan yang lainnya tergantung dari sifat antigen dan MHC yang mengikat dan yang menampilkannya. Sel T yang disebut CD4+ bereaksi dengan antigen yang diproses oleh APC dan dipresentasikan bersama dengan MHC kelas II. Sub populasi sel T yang lain yaitu CD8+ yang berfungsi sebagai sel sitotoksi bereaksi dengan antigen yang dibentuk oleh sel, misalnya protein virus atau antigen histokompatibilitas minor, yang ditampilkan bersama dengan MHC kelas I. Proses pengikatan antigen yang dibentuk dengan MHC kelas I dapat berlangsung saat sintesis atau perakitan kedua molekul bersangkutan. Presentasi antigen yang terikat pada MHC kelas I merangsang sel T sitotoksik untuk melancarkan aksinya (Vitetta dkk, 1989; Hendrik, 1989; Roitt dkk, 1993).
Antigen yang ditangkap oleh makrofag atau oleh sel-sel APC yang lain akan masuk kedalam sel dengan cara endositosis atau pinositosis. Sebagai APC baik makrofag maupun sel B mempunyai fungsi yang sama tetapi sel B mempunyai kelebihan dari makrofag karena sel B mampu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan (sIg). Dengan demikian antigen dalam jumlah kecilpun akan dapat ditangkap dan diproses sehingga sel B dapat berfungsi sangat efisien. Tetapi jika konsentrasi antigen cukup tinggi sel B tidak perlu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan karena proses internalisasi dapat terjadi dengan cara pinositosis pada makrofag (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Antigen di dalam sel diproses dengan berbagai cara diantaranya melalui proses denaturasi atau proteolisis yang terjadi di dalam endosom. Segmen-segmen yang bersifat hidrofobik kemudian dimunculkan kembali pada permukaan sel bersama-sama dengan MHC. Pada beberapa keadaan antigen tidak dirombak dengan cara proteolisis tetapi hanya dirubah konfigurasinya atau hanya dilekatkan pada molekul lipid (Vitetta dkk, 1989; Subowo, 1993).
AKTIVASI LIMFOSIT DAN PRODUKSI ANTIBODI
Aktivasi limfosit T, khususnya limfosit Th dari interaksi antara reseptor sel T + kompleks antigen-MHC kelas II yang terdapat di permukaan APC. Selain menyajikan antigen, APC juga memproduksi interleukin-1 yang mampu merangsang pertumbuhan sel T. Interaksi ini merangsang berbagai reaksi biokimia di dalam sel T, diantaranya adalah perombakan fosfatidil-inositol dan peningkatan konsentrasi ion Ca++ serta aktivasi protein kinase-C yang diperlukan sebagai katalisator pada fosforilasi berbagai jenis protein. Reaksi-reaksi diatas mengakibatkan serangkaian reaksi-reaksi yang menghasilkan ekspresi reseptor IL-2 dan roduksi IL-2 yang diperlukan untuk proliferasi sel selanjutnya (Grey dkk, 1989; Abbas dkk, 1991; Roitt dkk, 1993).
Sebagian dari sel T selanjutnya akan berfungsi sebagai sel T helper-inducer untuk membantu sel B, sebagian lagi akan kembali dalam keadaan istirahat menjadi sel memori. Aktivasi sel B dapat terjadi atas rangsangan antigen T-independen tipe Im antigen T-independen tipe II dan antigen T-dependen. Antigen T-dependen memerlukan bantuan sel Th. Antigen T-independen tipe I dalam konsentrasi tinggi mampu merangsang sel B secara poliklonal tanpa mengindahkan spesifsitas reseptor permukaan sel B. Contoh antigen seperti ini adalah lipopolisakarida pada permukaan sel bakteri. Tetapi pada konsentrasi rendah sel B dengan sIg spesifik sebagai reseptor dapat menangkap antigen sehingga sel teraktivasi.
Antigen T-independen tipe II adalah antigen yang tidak segera dirombak didalam tubuh misalnya polisakarida pneumokokus, polimer polivinilpirolidon (PVP) yang mampu merangsang sel B tanpa banuan sel Th. Antigen dapat melekat dengan aviditas kuat pada permukaan sel B dengan ikatan multivalen melalui sIg. Pada umumnya antigen T-independen merangsang pembentukan IgM. Sebagian besar antigen adalah T-dependen yang berarti respon pada sel B baru dapat terjadi atas rangsangan sel T. Agar sel B apat dirangsang oleh sel T maka MHC kelas II pada permukaan kedua sel harus sesuai. Hal ini penting untuk interaksi antara sel T dengan sel B dalam keadaan istirahat (resting B cells). Dilain pihak sel B yang sudah teraktivasi oleh kompleks antigen-MHC yang relevan.
Sel T yang diaktivasi oleh antigen akan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang diperlukan untuk proliferasi sel T sendiri, disampign itu sel T juga memproduksi berbagai faktor atau limfokin yang dapat merangsang perubahan pada berbagai jenis sel antara lain sel B, sel T sitotoksik, makrofag dan lain-lain karenanya sel itu disebut sel T inducer (Grey dkk, 1989; Hendrik, 1989; Vitetta dkk, 1989).
Berbagai jenis limfokin yang diproduksi oleh sel T dan dipergunakan untuk merangsang sel B adalah: B-cell stimulatory factor (IL 4), B-cell growth factor (II-6), B-cell differentiation factor-µu (BCDF-µu) dan BCDF-gamma serta gamma interferon. Dengan rangsangan limfokin diatas sel B berproliferasi dan berdiferensiasi lebih lanjut menjadi sel plasma dan memproduksi imunoglobulin. BCDF- µu merangsang produksi IgM yang diproduksi menjadi IgG dan selanjutnya akan terjadi sintesa dan sekresi immunoglobulin oleh sel plasma (Abbs dkk, 1991; Kresno, 1991).
Selain berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi imunoglobulin, stimulasi sel B perawan menyebabkan terbetuknya klon sel B yang perlahan-lahan kembali leleadaan istirahat dan menjadi sel memori. Sel ini seringkali mengekspresikan reseptor yang mengalami mutasi dan menunjukkan afinitas yang lebih tinggi. Sel B memori maupun sel T memori akan meninggalkan kelenjar limfe, limpa atau jaringan limfoid lain kemudian masuk kedalam pembuluh limfe dan pembuluh darah untuk melakukan surveillance (Bellanti, 1985; Subowo, 1993; Kresno, 1991).
Respon imun sekunder pada umumnya timbul lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan dengan respon primer. Hal ini disebabkan oleh karena adanya sel T dan sel B memori seta antibodi yang tersisa. Antigen dapat dikenal oleh sel B spesifik secara lebih efisien. Dalam hal ini sel B bertindak sebgai APC. Karena jumlah sel T dan sel B spesifik lebih banyak, kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen lebih besar, sehingga titer antibodi juga cepat meningkat. Disamping itu antibodi yang tersisa juga dapat bereaksi dengan antigen sehingga kompleks antigen antibodi lebih mudah ditangkap oleh APC dan diproses dan selanjutnya akan terjadi stimulasi sel T dan sel B seperti halnya pada respons imun tetapi dengan kecepatan efisiensi lebih tinggi (Bellanti, 1985;Roitt dkk, 1993).
REGULASI RESPONS IMUN
Setelah terbentuk antibodi, antigen dihancurkan atau dinetralkan oleh antibodi, sehingga hanya imunosit dengan afinitas reseptor yang tinggi sajalah yang dapat mengenali antigen, dengan demikian aktivitas imunosit makin lama makin berkurang. Penurunan aktivitas ini selain diatur oleh penurunan jumlah antigen juga disebabkan oleh antibodi itu sendiri yang dapat memberikan umpan balik negatif. Penurunan aktivitas imunosit itu juga terjadi karena penangkapan kompleks antigen-antibodi oleh APC dalam kondisi antibodi poliklonal berlebihan menjadi kurang efisien akibat banyaknya reseptor Fc yang dapat ditempati oleh imunoglobulin yang mengikat molekul antigen. Selain itu antigen yang terikat pada antibodi dalam kondisi antibodi berlebihan juga terlindung dari proteolisis. Akibatnya pemrosesan antigen akan terganggu, sehingga aktivasi sel T juga terhambat (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Faktor lain yang berperan dalam pengendalian respon imun adalah limfosit T. Pengendalian atau penekanan respons imun diawali dengan aktivasi sel T suppresor-inducer yang akan memicu aktivias sel T penekan. Percobaan secara invitro menunjukkan bahwa aktivasi sel T suppressor-inducer terjadi karena adanya kontak dengan antigen yang disajikan oleh sel T-supressor (Ts) melalui determinan I-J yang diekspresikan bersama MHC kelas II. Molekul I-J dianggap menggambarkan idiotip pada sel Ts yang dipilih oleh MHC kelas II saat terjadinya perkembangan sel.
Hipotesis ini adalah melalui pengenalan idiotip pada reseptor Th oleh antiidiotip pada sel Ts atau interaksi antara antiidiotip dengan antibodi terhadap terhadap antiidiotip (anti-antiidiotip) karenan antiidiotip dalam keadaan tertentu dapat meniru (mimic) antigen. Sebagai contoh, hormon yang terikat pada reseptor akan mengikat antihormon, kemudian antibodi terhadap antihormon (anti-antihormon) mengikat antihormon. Karena reseptor dan antihormon dapat mengikat hormone dank arena antihormon dapat mengikat antibody terhada antihormon maka anti-hormon ini dapat mengikat reseptor. Dengan demikian interaksi idiotip-antiidiotip memungkinkan sel Ts melakukan fungsi penekanan pada sel Th maupun sel B. penekanan juga dapat terjadi secara nonspesifik, misalnya dengan menginkubasikan sel T dengan activator poliklonal Con A. selain itu factor-faktor penekan yang diproduksi oleh sel Ts dapat diikat oleh APC. Pengikatan itu antara lain mengakibatkan sintesis IL-1 dihambat, sehingga kemampuan APC menjadi berkurang. Jumlah sel Ts yang diaktivasi tergantung dari berbagai hal. Seperti jumlah dan cara masuknya antigen, seta umur dan dasar genetic individu bersangkutan (Kresno, 1991; Roitt dkk, 1993; Subowo, 1993).