Jumat, 26 Juni 2009

IRFT VALLEY FEVER

RIFT VALLEY FEVER


PENDAHULUAN


Rift Valley fever adalah penyakit infeksi akut yang ditularkan melalui vektor yang merupakan penyakit viral pada domba dan sapi yang menyebabkan keguguran dan menyebabkan kematian tinggi pada domba muda dan anak sapi. Ciri khasnya yaitu periode ingkubasi yang singkat, demam leukopenia, nekrosi pada hati, dan inklusi asidofilik inti sel hati. Rift Valley Fever merupakan zoonosis yang diasumsikan dapat menyebar dari lembah Rift Kenya ke daerah Dfrika lainnya yang menyebabkan penyakit serius pada manusia dan hewan.

Henning (1952,1956) menjelaskan penyakit yang lainnya di Afrika Utara yang hampir mirip dengan Rift Valley Fever yang disebabkan oleh agen yang dinamkan virus Wesselbron.

Hubungan serologis telah dibuktikan antara Rift Valley Fever dan Zinga virus, yang kemungkinannya adalah strain virus Rift Valley Fever, dan berdasarkan hal ini kedua virus tidak dapat dibedakan.


ETIOLOGI


Virus ini dikategorikan kedalam famili Bunyaviridae yang berdasarkan morfologi dan karakteristik biokimia, dan juga pada cross reaksi serologi dengan virus grup demam phlebotomus. Bentuk virus tersebut spiral, berdiameter 90 sampai 100nm, dan memiliki proyeksi permukaan yang hampir sama yang diemukan pada virus bunyaviridae. Virus dapat tumbuh dengan biakkan sel kultur, kecuali lymphoblastosid sel line, dan pertumbuhannya dapat dilihat dengan menggunakan teknik fluorescent antibody (FAT).

Virus pada famili Bunyaviridae dicirikan dengan adanya RNA rantai tunggal dengan tiga segmen unik, protein nukleokapsid yang berasosiasi dengan RNA, dan amplop yang mengandung minimal satu virus spesifik glikoprotein. Ukuran strain viscerotropik diteliti dan tidak ditemukan perbedaan signifikan dari bentuk neurotropik (Naude et al, 19454)

Pertumbuhan virus Rift Valley Fever pada fibroblast tikus dicirikan dengan 6 jam priode latent, kejadian titer virus dari kedua sel bebas dan sel asosiasi virus adalah selama 16 dan 20 jam, dan fase pelepasan virus lebih kurang selama 48 jam (Johnson dan Orlando 1968).

Teknik Fluorescent Antibody digunakan untuk mendeteksi antigen virus Rift Valley Fever pada kultur jaringan setelah inkubasi selama 5 jam. Pewarnaan fluorescent selalu pada sitoplasma (Easterday dan Jaeger 1963).


EPIZOOTIOLOGY


  1. Distribusi Geografis

Penyakit ini pertama kali dilaporkan di lembah Rift Kenya dan terletak pada daerah Afrika.

Sellers (1981) menjelaskan sebelumnya mengenai kejadian epizootik pada hewan domestik dan epidemik pada manusia di Afrika pada tahun 1979. Beberapa faktor yang mempengaruhi epizootik meliputi iklim, vektor, perpindahan reservoir, dan reservoir hewan domestik.

Epizootik RVF terjadi di Kenya pada tahun 1961 – 1962 ( Coackley et al. 1976a) dan pada tahun 1978-79 (Davies dan Highton 1980). Karena tingginya kejadian aborsi yang diamati selama kejadian penyakit, RVF diduga sebagai penyebabnya (Scott et al 1963).

Davies dan Onyango 1978 mengatakan bahwa kera vervet (Cerophitecus aethiops) kemungkinan bukan sebagai host reservoir virus RVF di Kenya. Sepuluhpersen dari abortus diteliti melalui diagnosis lavoratorium di zimbabwe dalam periode 1 tahun ditemukan sebagai RVF ( Shone et al 1958). Pada tahun 1983 dan 1976 kejadian penyakit RVF dilaporkan di Sudan (Eisa et al 1980).

Hingga tahun 1976-1977, RVF dinyatakan zoonosis dilaporkan hanya di Sub-saharan Afrika, tetapi tahun 1977 kejadian penyakit terjadi di Mesir (Peters dan Meegan 1981).





  1. Penularan


Virus Rift Valley Fever ini ditularkan ke sapi dan domba muda melalui gigitan arthtropoda; nyamuk kemungkinan yang menjadi vektor penting. Infeksi pada manusia disebabkan melalui makanan yang terkontaminasi atau karena material laboratorium.

Virus Rift Valley Fever kemungkinan ditransmisikan secara biologis dan mekanis oleh vektor hematophagos. Meskipun manusia dapat terinfeksi, hampir semua hewan dapat trinfeksi melalui vektor nyamuk (Meegan et al 1980). Rift Valley Fever diisolasi dari Culex Theileri, Aedes linneatopennis, Anopheles coustani, Aedes dentatus, dan Eretmapocites quinquevittatus pada waktu epizootik di Afrika Utara. Hali ini disimpulkan bahwa Culex theileri merupakan vektor penting pada anan sapi dan domba.


GEJALA KLINIS


Sindrom klinis diklasifikasikan atas perakut, akut, subakut, dan ringan . Keparahan dari tanda yang terjadi tergantung pada spesies dan umur Host. Sindrom yang paling parah telah diamati pada anak domba, anak sapi, dan domba dewasa. Gejala utamanya tidak spesifik dan meliputi demam, leleran hidung, dan aborsi. Pada sapi maupun domba, bukti yang menunjukkkan penyakit kemungkinannya adalah aborsi. Angka kematian kemungkinan mencapai 70% pada anak domba dan anak sapi. Pada sapi maupun domb, bukti yang menunjukkan penyakit kemungkinannya adalah aborsi.

Pada manusia, RVF mungkin bermanifestasi pada salah satu seperti penyakit benign yang ditandai dengan demam, sakit kepala dan malaise atau sperti sindrom akut yang disirikan dengan hepatik, sistem saraf pusat, dan komplikasi okular.

Pada domba dewasa, secara acak timbul penyakit akut meliputi vomitting, leleran mukopurulen dari hidung, pulsus cepat, aborsi dan angka kematian 20 sampai 30%. Bentuk subakut juga biasa terjadi pada hewan dewasa dan dicirikan dengan demam, anoreksia, kelmahan umum, dan aborsi. Pada bentuk ringan, hanya trjadi reaksi febrile. Pada domba muda , biasa terjadi dengan bentuk perakut. Sindrom tersebut memiliki periode ingkubasi 12 jam dan menyebabkan kematian lebih bersifat variabel pada kambing dan timbul dalam bentuk kurang parah (Easterday 1965).

Gejala RVF pada anak sapi tidak tentu, penghambatan laktasi, salivasi, diare, dan demam merupaan tanda yang dilaporkan (Easterday 1965).

Rift Valley Fever pada menusia dalam bentuk akut, febrille, sindrom swlf-limiting yang terkadang menyebabkan kematiankaren ademam berdarah. Skit self limiting bukan komplikasi memiliki masa ingkubasi 2 sampai 6 hari (Peters an Meegan 1981). Pada manusia penyakit ini dicirikan dengan demam, sakit kepala, sakit pada otot, lemah, mual, dan malaise dengan rentang waktu 1 sampai 4 hari. Kasus lebih lanjut berhubungan dengan sindrom yang lebih parah meliputi demam berdarah, nekrosis hepatik, enchepalitis dan kopmplikasi okular (Easterday 1965).


PATOLOGI


Virus Rift Valley Fever menyebabkan perubahan patologis yang sama pada tiap hewan domestik dan laboratorium. Sifat pathognomonis dari sindrom ini meliputi nekrosis hepatik focal atau conflluent, inklusi inti sel, dan subkutan, serosal , dan mukosal hemoragis. Encephalittis terjaddi pada hewan laboratorium yang teerinfeksi strain neurotroppik yang dicirkan dengan nekrosis jaringan saraf pertumbuhan inklusi aasidofilik intisel dan gliosis. Lesi okular dengan hemoragis vasulitis, dan retinitis diamati pada beberapa kasus di manusia.

Pada studii sementara mengenai perkembangan lesi pada anak domba secara eksperimental diinfeksikan dengan virus RVF, yang ditemukan warna abu-abu hingga foci biru kekuningan, berdiameter 00,5 hingga 1mmm, terbentuk di parenkim hati dalam waktu 28 dan 40 jam setelah inokulasi. Foci ini memmbesar tiap 12 jam dengan pembesaran 2 sammpai 2,5 mm. Pada lesi-lesi diamati perubahann histolois yng terjadi termasuk degenerasi hepatocyte dan necrosis pembentukan muural thrombii, pembentukan badan inklusi inti sel aidofilik, dan infiltrasi leukocytes dan histiocytes (Easterday1965).

Perubahan pada hati pada domba yang baru lahir berlanjut dari focal, lesi primer, dan necrotik hepatocyes dengann badan asidofilik dalam 6 sampai 12 jam untuk pembesaran foci primer dan degenerasi parenkim dalam 30 sampai 36 jam ( Coetzer dan Ishak 11982)

Kasus fatal yang terjadi pada manusia terjadi pada saat epidemic RVF 1977 di Mesir yaitu nekrosis hati parah,, pneumonia intestnal, dan degeenerasi myokardiaal ( Abdel- Wahabb et al 1978)


VAKSINASI


Vaksin yang disiapkan dari strain neurotropik yang disebarkan melalui serial intraserebral pada mencit tidak cukup memiliki immunogenik dan menyebabkan keguguran ketika dimasukkan ke dalam ewes hamil. Manusia yang divaksinasi dengan virus RVF yang tumbuh pada kultur jaringan dan kemudian diinaktivasi dengan foalin. Pada hewan, injeksi tunggal dengan vaksin yang sama menginduksi titer antibodi netralisasi yang rendah yang tidak selalu mengakibatkan keguguran atau mengakibatkan viremia. Karena itu, multipel injeksi vaksin yang mengandung virus dan adjuvant sangat direkomendasikan. Perkembangan anomalies berhubungan dengan penggunaan vaksin yang digabung virus RVF dengan virus wesselbron; yang nantinya virus tersebut menjadi agen pennyebab.

Vaksin yang diproduksi melalui otak tikus atau melalui embrio telur mengakibatkan aborsi pada ewes bunting dan bersifat immunogenik lemah ( Easterday 1965). Anak sapi yang divaksin RVF strain neurotropik meengakibatkan respon serum antibody nutralizing berlevel rendah, tetapi tetap memiliki derajat immunitas yang sama ketika di bandingkan dengan virus pantropik 28 bulan kemudian. Beberapa anak sapi yang terlahir dari induk yang divaksin memiliki antibodi didalam serumnya yang sebelumnya menyusu dari kolostrum. Serum anak sapi dan domba yang terinfeksi virus pantropik mengadung antibodi level tinggi yang berangsung selama 2,5 dan 3 tahun ( Coackley et al. 1967 a,b).

Vaksin RVF poten aman diterapkan bagi manusia . Vaksin tersebut disiapkan dari rhesus dan kultur sel ginjal monyet hijau Afrika yang diinnfeksikan dengan strain pantropik dan diinaktifkan dengan formalin. Vaksin ini sangat stabil untuk potensi immunogenik dan terbukti efektiff mencegah dari resiko tinggi pekerja laaboratorium ( Radall ett al. 1963, 1964).

Efek dari berbagai dosis dan kombinaasi vaksin hidup dan vaksin mati dapat dilihat pada anak sapi. Respon antibodi pada injeksii pertama dari salah satu vaksin tersebut responnya buruk ketika dipastikan melalui serum virus neutralisasi dan Hemaglutinin Inhibisi test, tetapi dosis pendorong dari vaksin inaktif menghasilkan respon anamnestik yang baik. Anak sapi yang divaksin dengan vaksin hidup tetapi negatif RVF dalam tesst serologis dapat kebal ketika di coba dengan virus RF virulent ( Barnard 1979 ).



DIAGNOSIS


Gejala yang menandakan peyakit terseebut adalah:

  1. Mortalitas tingi pada domba dan sapi

  2. Tingginyaangka aboruuss

  3. Lesi hepatik

Lesi hepatik dan hemorags merupakan tanda diagnostik yang pentng. Beberapa uji yag dipakai untuk tujuan diagnosis yaitu serum netralisasi, Hemaglutinin Inhibisi, dan CF test.


PENCEGAHAN


Rift Vlley Feverdapat dicegah meelaluii vaksinasi pada anak sapi dan omba Vektor penyebab dapat dicegah dengn penggunaan pestisida, insktisida.








Daftar Pustaka.


-Lesos, George.1986. Infectius Tropical Disease Of dometik animal. Churcill Living Stone Innc. Newyork. United States of Amerika

-Henning, M. W.,1952. Rift Valley Fever, J.S. Afr. Vet. Med. Ass, 23 (2); 65-78

-Nande, W. du. T., Madsen,T. and Polsen, A., 194. Difernt – sized infektive particles f Rift Valley Fever virus, Nature. 173: 1051-2

-Soehasono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular Dari Hewan Ke Manusia. Kanisius. Jogjakarta.




























Tidak ada komentar: